Berdirilah Kerajaan besar di bibir
pantai Pulau Sumatera yang dipimpin oleh Raja Tuanku Besar Datuk Imam. Beliau
adalah seorang pangeran dari Kerajaan yang bernama Ujung Gading yang sekarang
adalah Kabupaten Pasaman propinsi Sumatera Barat. Pengembaraan Datuk Imam
meninggalkan Kerajaan pimpinannya dengan maksud mencari dan menemukan daerah
baru telah berhasil mendirikan sebuah Kerajaan besar dengan wilayah yang cukup
luas di pesisir Barat Sumatera yang diberi nama “Ranah Nan Data”. Kelak nama
ini akan berubah menjadi “Ranah Nata”, dan karena kedatangan para
saudagar-saudagar asing akhirnya berganti menjadi Natal. Pengembaraan ini
adalah tawaran dari pangeran Indra Sutan, seorang pangeran muda dari Kerajaan
Pagaruyung (di Sumatera Barat) yang juga tengah mencari daerah baru untuk
dijadikan Kerajaan.
Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam
telah menjadi sahabat karib dalam pengembaraan dan pencarian mereka akan daerah
baru tersebut hingga akhirnya mereka menemukan dataran luas yang cocok untuk
dijadikan sebuah wilayah kerajaan. Setelah menemukan dan mulai mendirikan
sebuah perkampungan, Pangeran Indra Sutan terus menyusuri wilayah sekitarnya ke
arah hulu sungai hingga wilayah Kerajaan menjadi bertambah luas. Kemudian
Pangeran Indra Sutan berniat untuk mendirikan lagi sebuah kerajaan baru di
wilayah hulu Kerajaan Natal yang diberi nama Kerajaan Lingga Bayu. Sejak
mendirikan dan memimpin Kerajaan Lingga Bayu, Pangeran Indra Sutan dan Datuk
Imam membagi wilayah yang telah mereka kuasai itu menjadi dua bagian untuk
dipimpin oleh masing-masing mereka sebagai Raja-nya.
Luas wilayah kekuasaan Kerajaan Natal
pada mulanya meliputi 304.010 ha. Di sebelah timur berbatasan dengan Muara
Sipongi, Hutanopan (Kotanopan) dan Panyabungan. Sebelah barat berbatasan
langsung dengan Samudera Indonesia. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Pasaman (Sumatera Barat). Dan sebelah utara berbatasan dengan Sibolga (sekarang
Kotamadya Sibolga).
Setelah Kerajaan Ranah Nata di
‘mekarkan’ menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Natal dan Kerajaan Lingga Bayu,
dan juga karena kehadiran Belanda yang terus menciutkan wilayah kerajaan Natal.
Disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Natal bersepadan di sebelah timur dengan
Muaro (muara) Sungai Batang Natal hingga ke Muaro Selayan (sekarang di
Kelurahan Tapus, dan sekarang telah menjadi bagian dari wilayah kecamatan
Lingga Bayu), sebelah utara berbatasan dengan Batang Panggautan (sebuah desa yg
masih termasuk dalam kecamatan Natal sekarang ini, berjarak sekitar tiga
kilometer dari Natal), sebelah selatan berbatasan dengan Batang Sinunukan
(sekarang di Kecamatan Sinunukan), sebelah barat berbatasan dengan Samudera
Hindia di pinggir pantai barat Sumatera yang termasuk dalam propinsi Sumatera
Utara.
Tuanku Besar Datuk Imam menetap dan
memimpin Kerajaan Natal hingga akhir hayatnya. Ia mangkat di Natal. Belasan
keturunannya meneruskan serta memimpin Kerajaan Natal hingga pada tahun 1947
saat terbentuknya Dewan Negeri yang menghapuskan daerah “Swatantra” atau
daerah-daerah yang mengatur dirinya sendiri.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Natal
yang telah menjadi pusat perdagangan di pesisir barat Sumatera Utara yang telah
disinggahi oleh saudagar-saudagar dari Cina, Arab, Portugis, India, kolonial
Belanda, Aceh, Makasar, Jawa dan sebagainya. Perdagangan itu pada umumnya
dilakukan dengan sistim barter (tukar-menukar). Hasil bumi penduduk ditukar
dengan barang impor yang dibawa para saudagar seperti besi, kain, candu dan
lainnya.
Antara Raja-Raja di Kerajaan Natal
dengan pihak Kolonial sering berakhir dengan bentrokan besar, sikap pemerintah
kolonial yang tidak selalu bersahabat menjadi penyabab utama, yang pada
akhirnya Raja terguling ataupun diasingkan ke daerah lain dan tidak dapat lagi
kembali ke Kerajaannya, bahkan juga banyak yang tewas dalam pembuangannya.
Pada tahun 1841, pemerintah kolonial
Belanda menciptakan Residensi Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sibolga.
Ketika itu belum ditetapkan apakah Natal termasuk dalam Residensi Tapanuli
Selatan atau Residensi Padang. Pada tahun 1843 barulah diputuskan bahwa Natal
masuk dalam Residensi Tapanuli Selatan oleh Gubernur Hindia Belanda yang berkedudukan
di Padang, Sumatera Barat.
Dalam posisinya sebagai pusat jalur
perdagangan, adat budaya Kerajaan Natal sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh
adat budaya asing. Hal itu dapat terlihat dari beberapa jenis tarian Natal yang
dipengaruhi oleh budaya Minang, Melayu dan Mandailing. Pakaian penarinya pun
mendapat pengaruh dari budaya Cina, dan Portugis. Namun dalam prinsip
keyakinan, masyarakat Natal mayoritas memeluk Islam.
Nama 13 Raja-Raja yang memerintah
Kerajaan Natal:
- Tuanku Besar Datuk Imam; Tuanku Besar Datuk Imam
mempunyai empat orang saudara perempuan. Dua orang di antaranya bernama
Puti Ratiah dan Puti Rani (Puti artinya adalah putri, panggilan untuk
putri keluarga bangsawan).
- Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo; adalah putra
dari Puti Ratiah yang diangkat menjadi Tuanku Besar (Raja) Natal ke-2
menggantikan pamannya, Tuanku Besar Datuk Imam. Tuanku Besar Datuk Basa
Nan Tuo menikah dengan Puti Baruaci, cucu kemenakan dari Tuanku Besar
Datuk Bandaro, Raja ke-2 dari Kerajaan Lingga Bayu, yang juga kemenakan
Tuanku Besar Rajo Putih. Di masa pemerintahan Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo, pusat kerajaan Natal dipindahkan ke Kampung Bukit
yang letaknya jauh dari pantai.
- Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo; adalah saudara
Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo.
- Tuanku Besar Tama Musi, bergelar Tuanku Nan
Kusuik; adalah saudara sepupu dari Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo.
- Tuanku Besar Sutan Sailan; Puti Rani mempunyai
putri bernama Puti Tuo, Puti Tuo mempunyai tiga orang anak, Puti Tune,
Puti Rumbuk dan Sutan Sailan, Puti Tune mempunyai putri bernama Puti Nan
Kalam.
- Tuanku Besar Sutan Gembok; adalah anak dari Puti
Nan Kalam atau cucu Puti Tune. Jadi Tuanku Besar Sutan Gembok adalah
keturunan ke-5 dari Tuanku Besar Datuk Imam. Karena Tuanku Besar Sutan
Gembok lebih tertarik pada masalah keagamaan, ia menduduki tahta Kerajaan
hanya selama enam bulan untuk kemudian diserahkan kepada adiknya.
- Tuanku Besar Si Intan; adalah adik dari Tuanku
Besar Sutan Gembok. Pada masa pemerintahan Tuanku Si Intan inilah
perahu-perahu layar bangsa Portugis mulai singgah di Pelabuhan Natal untuk
mencari lada dan emas. Tuanku Besar Si Intan mempunyai dua orang isteri,
yaitu Putri Nai Mangatas dan Uci Siti. Putri Nai Mangatas berasal dari
kerajaan Pidoli Lombang, sebuah kerajaan di daerah Mandailing. Setelah
kawin, namanya diganti menjadi Puti Junjung. Ia melahirkan seorang putra
bernama Sutan Mohammad Natal. Sedangkan Uci Siti berasal dari Jambua Aceh.
Jambua adalah kelompok masyarakat atau suku tertentu di luar kerabat
Diraja yang menempati salah satu kampung di Natal. Masyarakatnya dipimpin
oleh seorang Datuk. Misalnya, Jambua Aceh untuk kelompok suku Aceh
dipimpin oleh Datuk Aceh. Jambua Rao dipimpin oleh Datuk Rao. Pada 22 Mei
1823, Tuanku Besar Si Intan mangkat.
- Setelah mangkatnya Tuanku Besar Si Intan,
putranya Sutan Mohammad Natal ketika itu masih kecil sehingga belum dapat
menjalankan pemerintahan. Oleh sebab itu ibunya, Puti Junjung diangkat
sebagai wali yang memegang tampuk kekuasaan memerintah Kerajaan Natal.
Kemudian Puti Junjung menikah lagi dengan Sutan Salim. Sutan Salim selalu
menyusahkan Belanda, sehingga ia tidak disukai pemerintah Belanda. Sutan
Salim ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Sutan Salim tidak pernah kembali
ke Natal, ia meninggal dalam pembuangan.
- Tuanku Besar Sutan Mohammad Natal; adalah putra
dari Tuanku Besar Si Intan, pada masa pemerintahan Sutan Mohammad Natal,
daerah kekuasaannya diciutkan oleh Belanda yang mulai menancapkan
kekuasaannya di wilayah Sumatera, termasuk Minangkabau. Karena Sutan
Mohammad Natal sering bentrok dengan Belanda, ia bernasib sama dengan ayah
tirinya, dibuang ke Sibolga. Sejak itu, tamatlah riwayat Tuanku-Tuanku
Besar di Natal yang bebas dari pengaruh Belanda. Kemudian Belanda membagi
kerajaan Natal menjadi tiga daerah yang masing-masing dikepalai oleh
seorang Kuria yang diangkat oleh Belanda, ditempatkan di Nata, Singkuang
dan Batahan. Kepala kuria yang pertama di Natal bernama Datuk Mohammad
Saleh. Ia adalah Datuk suku Minangkabau atau Datuk Jambua Minangkabau.
- Tuanku Besar Rajo Hidayat; adalah putra Puti
Junjung dengan Sutan Sailan.
- Tuanku Besar Mohammad Saleh.
- Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad; diangkat
pemerintah Belanda berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda
yang waktu itu berkedudukan di Padang. Pada masa itu daerah kerajaan Natal
semakin diciutkan oleh Belanda.
- Tuanku Besar Sutan Sridewa; adalah suami Puti
Siti Zahara yang masih kemenakan Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad. Tuanku
Besar Sutan Sridewa adalah Raja Natal yang terakhir di zaman kolonial
hingga terbentuklah Dewan Negeri yang menghapuskan daerah Swatantra.
Dari garis keturunan Tuanku Besar Si
Intan, kelak lahir dua putra Indonesia yang menjadi tokoh penting dalam
perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bernama Sutan
Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si
Intan dengan Puti Uci Siti pada waktu perang Padri (1821 – 1837), menikah
dengan Puti Loni yang berasal dari Kerajaan kecil Batu Mundam yang berkedudukan
di dekat perbatasan Sibolga. Puti Loni adalah putri Raja Pagaran Batu di Batu
Mundam. Ketika Tuanku Besar Si Intan masih hidup, Sutan Kabidun memerintah
daerah Tabayong sampai ke Batu Mundam. Dari perkawinannya dengan Puti Loni,
Sutan Kabidun memperoleh empat anak bernama: Marah Palangai, Marah Darek, Puti
Johar Maligan, dan Puti Malelo (Puti Lelo).
Puti Johar Maligan menikah dengan Sutan
Sulaiman, mereka memperoleh seorang putri yang bernama Puti Siti Rabi’ah. Puti
Siti rabi’ah menikah dengan Mangarajo Sutan yang waktu itu bekerja sebagai
Kepala Jaksa di Medan. Mereka dikaruniai tujuh anak. Salah seorang anaknya
diberi nama Sutan Sjahrir yang kelak menjadi Perdana Menteri indonesia pertama.
Puti Malelo (Lelo) adalah putri bungsu
Sutan Kabidun yang menikah dengan Sutan Mohammad Zahab, saudara sepupunya sendiri.
Puti Lelo dan Sutan Mohammad dikaruniai beberapa orang putra dan putri. Salah
seorang cucu mereka diberi nama Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal sebagai
tokoh Sumpah Pemuda, tokoh Pujangga Baru, Novelis dan Ahli Filsafat.***
Sejarah Mandailing ......
Mandailin Bukanlah Batak ......
Saya yakin, kalo kita orang asli
mandailing sudah pernah membaca asal usul Mandailing, tidak akan pernah setuju
jika Mandiling dikatakan sub suku Batak. Tidak ada sejarahnya yang mengatakan
Mandailing pecahan dari suku Batak. Kecuali tulisan iseng dan ingin ingin
menjadi tuannya Mandailing.
Berikut saya lampirkan beberapa tulisan
yang dikutip dari beberapa buku Sejarah Mandailing dan juga tulisan yang pernah
dimuat beberapa situs seperti http://rahimtahir.tripod.com/id9.html yang juga
membahas sejarah Mandailing.
SEJARAH MANDAILING
(Petikan dari Buku Cenderamata Lembaga Adat Mandailing
Malaysia).
Orang Mandailing
diriwayatkan berasal dari Munda yaitu sebuah daerah di India Tengah. Mereka
telah berpindah-pindah pada abad-ke 6, karena terpukul dengan serangan bangsa
Arayan dari Irak yang meluaskan pengaruh mereka. Setelah melintasi Gunung
Himalaya mereka menetap sebentar di Mandalay, yaitu ibu negara Burma purba.
Besar kemungkinan nama Mandalay itu sendiri datangnya dari perkataan Mandailing
yang mengikuti logat Burma.
Sekali lagi mereka
terpaksa bepindah karena pergolakan suku kaum di Burma yang sering berperang.
Pada waktu itu mereka melintasi Selat Malaka , yang pada masa itu bukan
merupakan suatu lautan yang besar, sangat dimaklumi bahwa pada masa itu
dibagian tertentu Semenanjung Tanah Melayu dan Sumatera hanya di pisahkan oleh
selat kecil saja.
Kaum Munda telah berjaya menyeberangi
laut kecil tersebut dan mendirikan sebuah kerajaan di Batang Pane, Portibi,
diduga peristiwa ini terjadi di akhir abad ke – 6.
Kerajaan Munda Holing
di Portibi ini telah menjadi mashur dan meluaskan wilayah taklukannya hingga
kesebahagian besar pantai Sumatera dan Tanah Melayu. Keadaan ini menimbulkan
kemarahan kepada Maharaja Rajenderacola lalu beliau menyerang kerajaan Munda
Holing dan negara pantai lainnyadi abad ke-9. Tenteara kerajaan Munda Holing
yang di pimpin oleh Raja Odap-Odap telah ditewaskan oleh Rajenderacola dan
berkuasa di seluruh daerah Batang Pane. Tunangannya Borudeakparujar telah
melintasi Dolok Maela (sempena Himalaya yang didaki oleh nenek moyangnya)
dengan menggenggam segumpal tanah di Portibi untuk menempah satu kerajaan baru
(Menempah banua).
Kerajaan kedua di
Sumatera di didirikan di Pidoli Dolok di kenali sebagai kerajaan Mandala Holing
artinya kawasan orang-orang Keling. Pada masa itu mereka masih beragama Hindu
memuja Dewa Siva. Di abad ke 13, Kerajaan Majapahit telah menyerang ke Lamuri,
Padang Pariaman dan Mandailing. Sekali lagi kerajaan Mandala Holing ini telah
di bumi hangus dan hancur. Penduduk yang tidak dapat di tawan telah lari kehutan
dan bercampur-gaul dengan penduduk asli. Lalu terbentuklah Marga Pulungan
artinya yang di kutip-kutip. Di abad ke-14 dan ke 15, Marga Pulungan telah
mendirikan tiga buah Bagas Godang di atas tiga puncak Bukit namun kerajaan
tersebut bukan lagi sebuah kerajaan yang besar, hanya merupakan kerajaan
kampung.
Di pertengah abad ke-14, terdapat
legenda tiga anak Yang Dipertuan Pagar Ruyung yang bernama Betara Sinomba,
Putri Langgoni dan yang bungsunya Betara Gorga Pinanyungan yang mendirikan dua
buah kerajaan baru.Betara Sinomba telah di usir oleh Yang Dipertuan dari Pagar
Ruyung karena kesalahan bermula dengan adiknya Putri Langgoni. Kedua beradik
tersebut berserta pengikutnya telah merantau dan mendirikan kerajaan di Kota
Pinang. Yang di Pertuan Kota Pinang inilah yang menurunkan raja-raja ke Kota
Raja, Bilah, Kampung Raja dan Jambi.
Adiknya Betara Gorga
Pinanyungan di dapati bersalah belaku adil dengan sepupu sebelah ibunya yaitu
Putri Rumandang Bulan. Oleh kerana tidak ada lagi pewaris takhta makanya putri
tersebut ditunangkan dengan Raja Gayo.
Sewaktu Putri Rumandang Bulan di bawa
pergi ke Gayo beliau telah membawa satu tandan pinang masak lalu ditanamnya
sebiji pinang tersebut pada setiap kali rombongan tersebut behenti hinggalah
sampai di tebing sebatang sungai. Di tebing sungei itu baginda telah melahirkan
seorang anak laki-laki yang gagah dan perkasa. Ketika rombongan tersebut ingin
meneruskan perjalanannya ke Gayo maka datanglah petir dan guntur yang amat
dasyat hingga kemah mereka tidak dapat di buka. Begitulah keadaannya sehingga
tujuh kali percobaan. Akhirnya seorang Datu telah memberitahu bahawa anak
tersebut hendaklah ditinggalkan di atas batu di bawah pohon sena tempat ia
dilahirkan kerana putera tersebut akan menjadi seorang raja yang besar di situ.
Putri Rumandang Bulan enggan puteranya
ditinggalkan karena dia ingin mati bersama anaknya, apabila Raja Gayo kelak
mendapati bahwa dia bukan lagi perawan. Di dalam keadaan tersebut tepancarlah
pelangi maka menitilah tujuh orang bunian di ikuti oleh Dewa Mangala Bulan dari
Kayangan. Puteri tersebut di simpan kedalam sungai berdekatan lalu bermandikan
dengan bunga-bunga sena yang sedang berkembang. Apabila keluar dari sungai
tersebut di dapati perut-perut yang menandakan baginda telah melahirkan tidak
lagi kelihatan. Maka nama sungai tersebut di kenali sebagai “Aek Batang Gadis”
artinya, air sungai yang memulihkan gadis/perawan.
Anak yang ditinggalkan di bawah pohon
sena tersebut telah di temui oleh rombongan Sultan Pulungan yang sedang
memburu, lalu dipunggutnya. Anak yang dibesarkan di dalam kandang di bawah
rumah tersebut akhirnya telah berhasil melarikan diri dan mendirikan sebuah
kerajaan dan kemudiannya mengalahkan Sultan Pulungan. Anak tersebut yang di
kenali sebagai Sibaroar yaitu kandang di bawah rumah akhirnya menjadi raja
besar di Penyabungan. Oleh karena raja di Penyabungan yang tersembunyi
diketahui orang akan ibunya maka dipanggilah kerajaannya sebagai kerajaan
“MANDE NAN HILANG”, pendeknya Mandailing atau pun Mandehilang. Beliau juga
adalah pengasas/penegak Marga Nasution., artinya orang sakti.
Ketika cerita kebesaran Sibaroar yang di
gelar Sutan Diaru tersebar jauh ke Pagar Ruyung maka Yang Dipertuan Pagar
Ruyung pun terkenang akan Putri Rumandang Bulan yang hamil di bawa ke Gayo.
Baginda dan pengiringnya pun berangkatlah mengikuti pohon-pohon pinang yang
telah di tanam oleh bekas kekasihnya itu hingga sampailah di tepi sungei yang
di namakan “Aek Batang Gadis” lalu di bawa mengadap kepada Sutan Diaru di
penyabungan.
Setelah panjang lebar bercerita lalu
pengasuh yang bernama Sisauwa telah menunjukkan kain sutera kuning pinang masak
yang membalut Sutan Diaru sewaktu baginda dijumpai di bawah pohon sena di Aik
Batang Gadis berserta aguk yang dikalungkan oleh ibunya Putri Rumandang Bulan.
Maka ketahuanlah akan Yang Di Pertuan Pagar Ruyung, bahwa Raja Sutan
Penyabungan tersebut adalah anaknya. Seluruh isi negeri bersukaria dan Sutan
Diaru pun di tabalkan secara rasmi sebagai Raja Penyabungan.
Pada masa yang sama
juga utusan dari Kota Pinang telah datang ke Penyabungan untuk mengundang Yang
Dipertuan Pagar Ruyung kesana untuk bertemu kekandanya yang telah lama tidak
berjumpa. Lalu kata Yang Dipertuan, “Beta tetap akan mengunjungi kekanda beta
di Kota Pinang.” Maka itu pada hari ini Kota Pinang di kenali sebagai Tanah
Abang, dan Penyabungan di kenali sebagai Tanah Adik, sempena peristiwa Betara
Sinomba mengundang adiknya Betara Gorga Pinanyungan di Penyabungan supaya
baginda datang ke Kota Pinang walaupun adiknya mempunyai kerajaan yang lebih
besar di Pagar Ruyung.
Kerajaan Sibaroar @ Sutan Diaru di
Penuyabungan akhirnya bekembang luas menguasai seluruh Mandailing Godang yang
sangat subur tanahnya.
Diabad ke-19 yaitu sekitar 1916, Tentera
Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol telah mengutuskan Raja Gadumbang
Porang atau lebih di kenali sebagai Tuanku Mandailing untuk mengislamkan Tanah
Mandailing. Tentera Paderi telah masuk ke Mandailing melalui Muara Sipongi dan
menakluki Penyambungan pada awal 1816. Kemudiannya Belanda pula memasuki
Mandailing sekitar 1835, ini telah mengakibatkan banyak dari raja-raja
Mandailing yang menentang dan terpaksa mundur dan menyeberangi Selat Melaka dan
terus menetap di Tanah Melayu.
Orang-orang Mandailing bekas panglima
tentera paderi telah memainkan peranan penting di dalam perjalanan sejarah di
Tanah Melayu iaitu Tanah Pelarian. Nama seperti Tuanku Tambusai, Raja Asal,
Raja Laut dan Sutan Naposo tercatat di dalam sejarah pergolakan perang saudara
di Pahang dan Selangor.
Perpindahan orang Mandailing bermula
sejak lama, diantaranya adalah disebabkan perselisihan faham keluarga, menjae
atau merajuk, kalah perang atau pelarian atau buruan kerana berbagai kesalahan
adat atau hukum.
Kejatuhan Penyabungan
ketangan Tentera Paderi 1816 dan gerakan mengislamkan Tanah Mandailing berikutnya.
Ada diantaranya di hantar ke Semenanjung. Namun perpindahan yang paling ketara
bermula sejak beramai-ramai sebagai budak/abdi dan ada di antaranya melarikan
diri bersama keluarga mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman.
Serangan Raja Gadumbang Porang atau
Tuanku Mandailing dengan tentera paderi tidaklah begitu menekan tetapi apabila
Tuanku Lelo bertubi-tubi menyerang Penyabungan dan memburu yang Dipertuan Huta
Siantar bersama pengikutnya; pembunuhan beramai-ramai telah memaksa sebahagian
besar penduduk Mandailing melarikan diri ke Tanah Melayu, sekitar tahun 1816 –
1832.
Ada pula di antara
raja-raja Mandailing yang mengikut tentera Paderi seperti Patuan Maga, Baginda
Sidursat dan lain-lainnya telah menentang Tuanku Lelo. Di bawah pimpinan Tuanku
Mandailing beberapa orang panglima perang paderi akhirnya menyerang Kubu Tuanku
Lelo di Padang Sidempuan dan menewaskannya.
Salah seorang anak
raja Mandailing bernama Jahurlang yang bergelar Tuanku Bosi yaitu anak kepada
Patuan Maga telah menyertai Tuanku Imam Bonjol sebelum jatuhnya benteng Padang
Sidempuan. Beliau diamanahkan oleh Tuanku Imam Bonjol untuk menjaga Bentang
Bonjol pada tahun 1837 – sewaktu beliau berunding dengan Belanda.
Jahurlang atau Tuanku Bosi diberikan
pedang Al-malik kepunyaan Tuanku Rao yang terkurban di Air Bagis sebagai tanda
mengambil alih pimpinan di Bonjol. Malang sekali Bentang Bonjol tidak dapat
dipertahankan kerana kekuatan tentera Belanda, akhirnya Tuanku Bosi dengan
pengikutnya tepaksa mundur ke Benteng Dalu Dalu.
Melihat pedang Al-Malik di tangan Tuanku
Bosi, maka Tuanku Tambusai telah merencanakan pengunduran beliau bersama
pengikutnya dan Benteng Dalu Dalu diserahkan kepada Tuanku Bosi. Tuanku
Tambusai dengan diiringi oleh Tuanku Raja Asal, Abdullah Zawawi (anak kepada
Tuanku Bosi) yang kemudiannya di kenali sebagai Raja Laut berundur bersama
pengikut mereka ke Tanah Melayu. Benteng Dalu-Dalu jatuh ketangan Belanda pada
1838. Tuanku Bosi turut terkurban setelah mendapat luka-luka parah di dalam
pertempuran tersebut.
Tuanku Tambusai, Raja Asal dan Raja Laut
mendarat di Melaka dan pergi ke Lukut mencari tempat tinggal. Tidak lama
kemudian Raja Laut diperintahkan kembali ke Sumatera untuk mencari saki baki
tentera paderi bagi mengatur serangan balas terhadap Belanda. Raja Asal
meninggalkan Lukut kerana terdapat sedikit kekecuhan di sana, beliau pergi ke
Kelang membuka Lombong Bijih Timah sekitar tahun 1843. Tuanku Tambusai mencari
tempat tinggal yang terpencil di Negeri Sembilan dan menetap di sana. Raja laut
berulang alik antara Sumatera dan Tanah Melayu sambil menyerang kapal-kapal
dagang Belanda, Inggeris, Cina dan India yang melintasi Selat melaka. Maka itu
beliau di sebut Raja Laut.
Sekitar tahun 1850, Raja Asal telah
meinggalkan Kelang dan berjijrah ke Pahang bersama-sama pengikutnya. Di Pahang
Raja Asal telah melibatkan diri di dalam perusahaan melombong bijih timah dan
berjual beli bijih timah. Raja Asal telah dapat menembusi istana Bendahara Tun
Ali dan bersahabat baik dengan keluarga pembesar di Pahang. Beliau bersahabat
baik dengan Tun Mutahir anak Tun Ali. Tun Ali mangkat pada tahun 1857. Raja
Asal telah berkahwin dengan Wan Putih atau dalam bahasa Mandailing di panggil
Siputeh.
Perang saudara di Pahang belaku pada
tahun 1857 – 1863, Raja Asal terlibat di dalam perang tersebut kerana berkahwin
dengan keluarga Tun Mutahir yang menjadi Bendahara Pahang yang baru. Perang
saudara tersebut di menangi oleh Wan Ahmad iaitu adik kepada Tun Mutahir.
Sewaktu luka parah Tun Mutahir telah berundur bersama anak-anaknya Wa Da dan
Wan Aman serta Raja Asal kesempadan Negeri Selangor. Wan Putih telah di jemput
oleh hamba Raja Asal bernama ‘Sipuntung’, lalu di bawa ke Selangor.
Di Selangor Raja Asal
kembali menjalankan usaha membeli dan menjual bijih timah. Dana Paderi yang
diamanahkan kepadanya dilaburkan sekali lagi untuk membiayai saki-baki tentera
Paderi yang menjadi pengikutnya. Oleh itu beliau sentiasa berhubung dengan Raja
Laut yang diutuskan untuk mengumpulkan saki-baki tentera Paderi di Sumatera.
Tuanku Tambusai yang sudah uzur tidak lagi memainkan peranan penting untuk
memulihkan semula kekuatan Paderi di Sumatera.
Apabila Tuanku Raja Asal mengambil
keputusan untuk menyokong Raja Mahadi di dalam Perang Kelang untuk menentang
Raja Abdullah (dalam tahun 1866) maka beliau telah menghubungi Raja Laut untuk
mendapat bantuan bekas tentera Paderi di dalam peperangan tersebut. Sewaktu
Kelang jatuh dan kemudiannya Kuala Lumpur turut jatuh kerangan orang-orang
Mandailing, Raja Asal telah memerintahkan hambanya Sipuntung untuk membunuh
Dato’ Bandar Yassih yang berketurunan Bugis kerana banyak menindas dan menyeksa
orang-oranag Mandailing.
Campurtangan Tengku Kudin sebagai wakil
Sultan Abdul Samad yang memerintah Selangor mulai 26hb. June, 1868, telah
mengubahkan suasana politik di Selangor. Tengku Kudin mendapat bantuan dan
sokongan dari nggeris. Walaupun pada mulanya Raja Asal, Sutan Na Poso dan
kapitan Yap Ah Loy bersahabat baik tetapi pada tahun 1871 mereka berselisih
faham dengan Yap Ah Loy atas urusan perniagaan bijih timah.
Pada bulan Mei 1872, Raja Asal bersama
Raja Laut telah membawa angkatan perang mereka untuk menyerang Kuala Lumpur.
Mereka telah berkubu di Petaling Batu, iaitu di Jalan Cheras sekarang, bersama
lebih kurang 2,000 orang bekas tentera Paderi dari Sumatera. Satu pertempuran
telah berlaku diantara pasukan Raja Asal/Raja Laut dengan pasukan Kapitan Yap
ah Loy yang di bantu oleh Kapten Van Hagen dan Kapten Cavalier yang akhirnya
mengalami kekalahan teruk di mana seramai 730 tentera mereka telah terkurban.
Kejayaan Raja Asal dan Raja Laut merebut Kuala Lumpur dari Kapitan Yap Ah Loy
dan sekutunya telah mendesak Tengku Kudin meminta bantuan tentera dari Pahang
dan Pulau Pinang.
Pada pertengahan tahun
1872 Pahang telah bersubahat dengan Tengku Kudin untuk mengalahkan Raja Asal
yang di sokong oleh orang-orang Mandailing, Rawa (Rao), Batubara dan orang
Minangkabau yang merupakan saki-baki tentera Paderi, Raja Asal tersebut
bergelar Tuanku Raja Asal – bukanlah bererti beliau itu Raja yang memerintah
tanah Mandailing, gelaran Tuanku itu adalah gelaran Panglima Tetera Paderi.
Raja di Tanah Mandailing dipanggil Baginda, bukannya Tuanku.
Pada akhir 1872, tentera Pahang telah
menyerang kubu Raja Asal di Ulu Kelang. Tentera Pahang yang di pimpin oleh Imam
Perang Raja Rosu (Tok Gajah) telah ditewaskan oleh tentera Raja Asal yang di
pimpin oleh Panglima dari Mandailing bernama Jabarumun, yang berkubu di Ulu
Kelang. Isteri Raja Asal yang benama Wan Putih (Siputih), bersama orang-orang
Telu gigih pula mempertahankan satu lagi kubu Raja Asal yang kini tempatnya
dikenali sebagai Siputeh, sempena nama beliau yang dikagumi oleh orang-orang
Mandailing.
Pada bulan Mac, 1873, sekali lagi Raja
Rosu bersama tentera dari Pahang menyerang Ulu Kelang dengan kelengkapan yang
lebih hebat, oleh kerana bantuan yang dinantikan dari Raja Laut tidak dapat
mendarat di Kelang maka mereka telah mendarat di Teluk Mak Intan, maka kubu
Raja Asal pun jatuhlan ketangan orang Pahang. Raja Laut bersama lebih kurang
1,000 orang Batak yang baru di Islamkan telah mendarat di satu kawasan yang
kini di kenali sebagai Batak Rabit kerana telinga dan hidung mereka menggunakan
subang yang besar hingga terjuntai lubang telinga dan hidung mereka.
Raja Laut telah melintasi sebatang
sungai yang mengalir di tengah-tengah lalu di panggil mereka Aik Batang Padang
ataupun di kenali sebagai Sungei Batang Padang, sedangkan batang dalam bahasa
Mandailing itu adalah sungei. Didalam perjalanan mereka ke Ulu Selangor, mereka
telah menerima berita kekalahan Raja Asal di Bukit Nenas lalu mereka bekemah di
Ulu Bernam/Slim menanti Raja Asal yang sedang menuju ke Negeri Perak. Sebelum
bertemu dengan Raja Asal di Slim/Ulu Bernam maka satu persetujuan telah
diadakan supaya Jabarumun/Raja Barumun di hantar mendapatkan Sutan Na poso
(Sutan Puasa) yang bekubu di Ulu Langat bagi mengatur satu serangan balas ke
atas Tengku Kudin dan Raja Bosu. Berikutnya Sutan N Poso tidak begitu yakin
keraja Raja Asal tidak menyertai pasukan perang yang hanya di pimpin oleh
Jabarumun/Raja Barumun. Pasukan perang tersebut telah pulang tetapi di tengah
jalan mereka sempat juga menyerang orang-orang Cina di Pudu dan juga Ulu
Kelang. Kedai mereka di bakar dan pembunuhan pun berlaku di kedua-dua kawasan
tersebut.
Raja Laut dan pengikutnya tidak mengikut
Raja Asal ke Changkat Piatu, mereka telah berkampung di Air Kuning dan Banir di
negeri Perak. Raja Laut meninggalkan anaknya yang sulung benama Basir Nasution
atau pun lebih di kenali sebagai Syeh Basir guru agama di Air Kuning. Raja Laut
telah kembali kepada cara hidup lamanya berulang alik di Selat Melaka
sehinggalah beliau terkorban di dalam salah satu perempuran laut dengan
angkatan perang Belanda di Labuahan Bilik. Anaknya Syeh Basir Nasution telah
kembali ke Sumatera untuk mengumpulkan semula kaum keluarganya tetapi beliau
tidak lagi kembali menetap di Air Kuning. Anaknya yang tua benama Ja Akob atau
di kenali sebagai Jakub tinggal di Banir dan Air Kuning.
Raja Asal telah di terima mengadap Raja
Idris iaitu putera Mahrum Teja yang berkuasa di kawasan Teja, lalu diberikan satu
kawasan melombong yang luas di Changkat Piatu. Raja Asal juga telah diberikan
kuasa mengutip cukai bijih timah di muara pertemuan Sungai Pinji dan Sungai
Kinta. Sebuah Pengkalan mengutip cukai yang teguh telah di bina oleh Raja Asal.
Oleh kerana ia sebuah
pengkalan yang teguh akhirnya mengikut “telor” orang Perak lalu disebut
Pengkalan Pegoh. Raja Asal juga telah membina sebuah perkampungan orang-orang
Mandailing di Changkat Piatu, lalu berkumpullah sebahagian besar orang
Mandailing di Changkat Piatu. Orang-orang Rawa pula di tempatkan di Gopeng di
bawah pimpinan Panglima Jabarumun atau lebih di kenali sebagai Imam Perang
Jabarumun.
Isteri Raja Asal yang
mengikutinya setelah tinggal di Bukit Nenas di tawan oleh tentera Pahang telah
berjalan kaki mencari suaminya hingga sampai kesuatu tempat berhampiran Pusing,
di sana beliau bersama pengikutnya telah berkampung sementara menanti utusan
Raja Asal menjemput mereka . Kampung tersebut sehingga hari ini di kenali
sebagai Siputeh. Itulah sebabnya terdapat dua tempat yang dinamakan Siputeh,
masing-masing di Selangor dan di Perak.
Adalah diberitakan bahawa dalam tahun
1874, apabila perjanjian Pangkor termeteri maka banyaklah pembesa-pembesar
Negeri Perak yang tidak puashati. Memandangkan Raja Asal ini seorang yang gagah
berani dan banyak pengalamannya di dalam peperangan maka datanglah beberapa
orang di antara mereka meminta campurtangan beliau (Raja Asal) untuk mengusir
Inggeris dari negeri Perak.
Raja Asal menolak
permintaan mereka untuk campurtangan dalam pergolakan di Perak kerana beliau
telah uzur dan letih untuk berperang sepanjang usia remaja dan dewasanya.
Paktan untuk membunuh J.W.W Birch tidaklah disertainya tetapi Raja Asal telah
meminjamkan hambanya Sipuntung yang sangat dipercayai sebagai tanda penyertaannya
untuk membersihkan bumi ini dari campurtangan orang-orang kafir yang
ditentangnya sejak beliau memeluk agama Islam.
Raja Asal tidak pernah menjadi Penghulu
di Mukim Belanja, Penghulu Belanja yang pertama adalah Raja Bilah, iaitu anak
saudara kepada Raja Asal. Sewaktu J.W.W Birch di bunuh pada tahun 1875 Mukim
Belanja belum lagi diujudkan. Sila lihat perlantikan Raja Bilah sebagai
penghulu Belanja yang pertama. Semasa J.W.W . Birch di bunuh Raja Asal sudah
mula gering dan tidak mampu lagi mengendalikan urusan melombong ataupun
mengutip cukai bagi pihak Raja Idris (Sultan Perak). Akibatnya beliau terhutang
$3,000.00 kepada pihak yang berkuasa.
Sepanjang keadaannya gering itu Raja
Bilahlah yang menguruskan semua urusan Raja Asal. Akhirnya Raja Bilah telah meminta
Raja Asal menyerahkan kuasa sepenuhnya kepadanya supaya dapat beliau membayar
semua hutang tersebut. Setelah enam bulan kuasa diserahkan kepada Raja Bilah
barulah segala hutang piutang tersebut dapat diselesaikan.
Raja Asal dalam usia yang agak lanjut
dan kesan dari kekalahan serta kegagalannya tidak lagi merupakan seorang yang
aktif di dalam urusan maka itu semua urusan dikendalikan oleh Raja Bilah.
Tuanku Raja Asal telah meninggal dunia pada 1878 dan di semadikan di Changkat
Piatu di antara pertemuan Sungai Pinji dengan Sungei Kinta. Sehingga hari ini
makam beliau masih tertegak megah di atas tanah perkuburn Changkat Piatu.