Selasa, 21 Oktober 2014

KATO KATO PUSAKO

Manusia Tahan Kieh Binatang Tahan Palu
MENGATAKAN atau menyampaikan tentang suatu hal dengan lugas bukanlah kebiasaan dan karakter masyarakat Minangkabau.
Jika ada sesuatau yang ingin disampaikan pada orang lain, berupa nasehat yang lainnya, akan disampaikan dalam berbagai metafora dan sindiran. Kearifan yang dimiliki masyarakat Minangkabau saat bertutur dan berkata-kata selalu disampaikan dengan pilihan kata yang terseleksi agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Bagi yang tak bisa memahami kondisi ini, maka yang bersangkutan akan dianggap belum mampu menjadi manusia dewasa.
Jika ada orang yang sama sekali tidak faham dan tidak mempan dengan berbagai kiasan dan sindiran, maka derajat orang tersebut akan jatuh dan lebih rendah dari derajat yang dimiliki manusia, “manusia tahan kieh, binatang tahan palu”.
Kebiasaan yang telah diwarisi sejak lama ini merupakan cerminan dari kehalusan budi yang dimiliki orang Minangkabau dalam menjaga harkat pribadi maupun orang lain.

Ukuran menjadi manusia dewasa dalam budaya Minangkabau terukur dan teruji jika sudah mencapai tingkat kearifan dalam hidup. Kearifan yang dimiliki makin teruji saat bergaul dalam lingkungan luas, jika sudah saling memahami dan mengasah keterampilan daya pikir dalam mengolah dan mencerna metafora hidup. Tak semua perkataan dalam budaya Minangkabu disampaikan secara lugas. Dalam tuturan masyarakat Minangkabau selalu mengandung kias dan banding. Kias ( kieh ) merupakan sebuah perumpamaan yang disampaikan dalam bentuk sindiran memiliki kedalaman makna. Tidak mudah dipahami begitu saja jika tidak mempelajarinya dengan baik. “Bandiang” atau banding sebentuk ungkapan yang disampaikan dengan membandingkan satu hal dengan perumpamaan lain yang kadang terkesan tidak relevan dengan objek pembicaraan.
Jika si pendengar tidak memiliki kepekaan dan kearifan maka yang bersangkutan akan merasa kesulitan untuk memahami apa yang dikatakan. Begitulah budaya Minangkabau.

“Manusia tahan kieh, alun bakilek alah bakalam”, tidak dianggap menjadi manusia jika hal yang demikian telah hilang dalam diri seseorang. Satu komponen dari kecerdasan otak yang dimiliki telah menghilang dalam diri manusia.
Manusia seakan kehilangan fungsi otak kanan yang menjadi basis estetis dalam memahami betapa indahnya kehidupan.
Basis dasar yang harus dimiliki agar nilai dan kearifan tertanam dalam diri manuisa. Sebagai basis penyeimbang antara olah pikir dan kekuatan jiwa.
“Kieh jo bandiang” sebagai Warisan nilai luhur budaya Minangkabau dalam pembentukan karakter dan kualitas masyarakatnya telah tergerus ditelan arus peradaban.”
Kieh jo bandiang”, sebentuk otokritik yang dimiliki budaya Minangkabau tak lagi mempan dan berguna. Ironisnya sesuatu yang verbalpun kadang orang tak lagi membuat orang bisa faham dan mengerti. Betapa telah terjadi sebuah Tragedi kemanusiaan dimana kualitas kemanusiaan kita yang dimiliki hari ini, patut dipertanyakan.

“Binatang tahan palu, ditokok baru manggarik”, begitulah cara memperlakukan hewan dalam keseharian sebagai bentuk tindakan agar dapat dipahami hewan tersebut. Sebagai makhluk yang tidak dapat memahami bahasa manusia, pukulan menjadi tanda bagi binatang saat diperintahkan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau saat menyuruhnya pergi. Kerbau atau kuda makanan cambuk agar lebih keras bekerja dan kencang larinya, ayam dan itik makanan halau dengan pengalan panjang agar menjauh dari jemuran padi. Tak ada bahasa yang tepat yang dapat digunakan pada hewan tersebut.
Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi Jika kebiasaan memalu dan memukul juga dilakukan pada manusia.
Malahan hewan sekalipun jika dilatih, akan memiliki kepekaan dan kemampuan memahami bahasa dan isyarat dari manusia untuk dirinya.


Bagantuang di Aka Lapuak
PEMIMPIN masyarakat dalam terminology adat Minangkabau digambarkan sebagai sosok manusia yang harus memiliki kekuatan, kecakapan, mempunyai daya pikat dan kharismatik yang tinggi, serta cerdas dalam memimpin. Dalam masyarakat Minangkabau, sosok pimpinan yang diidamkan dianalogikan sebagai sebatang pohon beringin.
Pohon beringin biasanya tumbuh dan berdiri kokoh di pusat nagari, yang diuraikan dengan cerdas oleh masyarakat Minangkabau sebagai:
batangnyotampek basanda,
daunnyolabek dapek balinduang,
urek-nyo gadang tampek baselo,
akanyo kuek kadipagantuang.

Akar yang terdapat pada pohon beringin bersifat sangat alot dan kuat. Akat tersebut memiliki multifungsi. Akar tersebut dapat digunakan sebagai pengikat untuk menyatukan barang bawaan agar tidak berserakan saat dibawa.
Akarnya juga dapat digunakan sebagai pengganti tali untuk menggantungkan sesuatu. Akar beringin dalam pemahaman masyarakat Minangkabau tidak dipandang sebatas dari fungsi fisiknya semata, di balik kekuatan yang dimiliki oleh akar tersebut juga diberi pemaknaan yang luas dan mendalam sebagai gambaran yang menyatakan salah satu sikap ideal yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin maupun calon pemimpin pada suatu kaum maupun suatu nagari.
‘Akar’ dalam konsepsi kepemimpinan adalah semacam basis dasar dari bentuk kepemimpinan yang mesti dimiliki seseorang. Baik atau buruknya kualitas kepemimpinan yang dimiliki seseorang juga sangat ditentukan dari mana akar kepemimpinan itu tumbuh dan berasal. Jika dasar akarnya sudah kuat maka garis kepemimpinan yang dimiliki akan kuat juga, jika dasar akarnya lemah maka akan lemah pulalah kepemimpinannya. Berkaca dari sejarah berbagai negeri yang pernah dipimpin oleh seorang yang lemah, tidak memiliki dasar yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin, maka negara yang dipimpinnya cenderung gagal dan bangkrut.
Masyarakatnya kehilangan rasa kepercayaan dan mudah frustrasi. Tak ada tempat bagi masyarakat untuk dapat menggantungkan harapan dan cita-cita mereka.
Tak jarang juga yang terjadi alih-alih sebagai tempat menngantungkan nasib bagi masyarakat banyak, nasibmya sendiri pun kadang tidak bisa dibereskannya karena terbentur oleh sikap kepemimpinan yang lemah tadi.
Lebih celaka lagi jika akar yang dipakai sebagai tempat mengayutkan harapan dan impian tersebut telah lapuk dan rapuh. “Bagantuang di aka lapuak” adalah sebuah kenyataan pahit yang dialami masyarakat saat ini pasca lemahnya sikap para pemimpin dalam melakukan pengayoman pada masyarakatnya.
Berharap pada pemimpin yang lemah, masyarakat dewasa ini umumnya dapat diibaratkan sedang “bagantuang di aka lapuak”. Para pemimpin telah menjadikan dirinya seakan memiliki kemampuan sebagai tempat menggantungkan harapan dan cita-cita bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Melalui berbagai siasat pencitraan, para pemimpin dari luarnya kelihatan kokoh dan hebat, namun saat ‘ditompangi’ maka para penumpangnya pun terjengkang. Begitulah indahnya dunia pencitraan jika tak hati-hati dalam menyikapinya, “jikok bagantuang di aka lapuak” terjengkang kita dibuatnya.


Pucuak Lah Maampeh, Urek Lah Basaua
HOMOGENITAS dalam masyarakat Minangkabau tak lantas menjadikan wangsa ini tertutup dalam pergaulan dengan wangsa lain dan menjadi ekslusif. Tradisi merantau yang telah dimiliki wangsa Minangkabau sejak awal, telah membentuk watak dan karakter dalam diri wangsa MInangkabau menjadi manusia bebas, terbuka mudah bergaul dengan berbagai etnis yang ada. Pertemuan dalam dunia rantau dengan berbagai etnis tersebut telah membuahkan berbagai bentuk hubungan kekerabatan antar etnis maupun sesama etnis minang sendiri. Tak jarang hubungan tersebut berlanjut menjadi istimewa lebur dalam hubungan yang lebih dalam, yang lazim dalam bahasa Minangkabau disebut dengan istilah “badunsanak”.

Ungkapan badunsanak dalam tradisi Minangkabau Jika sudah diikrarkan (adaik di isi limbago di tuang), maka hubungan di antara merekapun otomatis lebur dalam satu ikatan suku atau kaum, menjadi senasib dan sepenangungan, sehina dan semalu. Sebagaimana kita ketahui kultur masyarakat Minangkabau yang menganut system perkawinan eksogami, setiap orang Minangkabau diharuskan menikah dengan orang dari luar sukunya. Jika ada yang melanggarnya maka yang bersangkutan akan dibuang sepanjang adat. Demikian juga yang terjadi jika ada orang dari etnis lain yang menyatakan bahwa dia telah masuk kesalah satu suku yang ada di Minangkabau diantara mereka maka juga tak boleh lagi ada ikatan perkawinan karena sudah dianggap menjadi seorang “dunsanak”.
Berbagai ikatan persaudaraan yang ada di Minangkabau tidak mutlak harus selalu diatur secara adat. Banyak ditemui dalam masyarakat apalagi di perantauan terjadi hubungan yang harmonis antara dua tetangga dalam satu lingkungan. Bentuk lain hubungan kekerabatan yang ada diantaranya, ada satu keluarga yang telah mengangkat seseorang jadi anak, atau adik yang berasal diluar sukunya. Mereka menjadi saudara dan mempunyai kedekatan batin. Begitulah indahnya sebuah hubungan yang dilandasi dengan ketulusan dan budi pekerti, Pucuak lah maampeh, urek lah basaua.
Pucuak lah maampeh urek lah basaua sebuah gambaran mengenai sebuah ikatan kekerabatan yang telah terjadi dengan sendirinya karena telah hidup bertetangga dan berdampingan dalam waktu yang panjang. Hubungan yang terjadi mungkin saja telah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka. Saking lamanya hidup bertetangga sampai terbangun sebuah bentuk hubungan baru, menjadi kerabat dekat walau tidak berasal dari etnis atau suku yang sama. Dari hubungan kekerabatan yang terbangun dengan sendirinya ini, muncullah sikap saling pengertian. Selama bertetangga nyaris tak ada pertengkaran diantara mereka, tidak ada saling iri apalagi sampai saling mencikaraui satu sama lain. “Pucuak maampeh” ibarat dua pohon berbeda yang tumbuh saling berdampingan, karena saking dekatnya pucuk daun dipuncak keduanya sampai bertemu dan dan saling melindungi.
Akarnyapun di dalam tanah telah menyatu menjalin diri dalam satu ikatan. Dua pohon dari jenis berbeda namun telah saling terkait dalam satu ikatan kuat, tapi mempunyai kesadaran mengenai posisinya masing-masing, “lado jo padehnyo, sidukuang anak jo paiknyo”, masingmasingnnya tidak mau saling campur tangan memperlihatkan kelebihan masing-masing.
Namun dalam silturahmi mereka saling memahami, laiknya dengan saudara sendiri tidak saling Intervensi satu sama lain. Keduanya tak akan saling pamer mengenai kelebihan masing-masing seperti lazimnya yang terjadi saat ini, “ kecek lado, lado nan padeh, kecek sidukuang anak, inyo nan paik.

Nan Tuo Manahan Batin, Nan Mudo Manahan Lahie
DIKOTOMI tua dan muda tak jarang kerap muncul dan menjadi masalah dalam suatu kehidupan bersama, baik dalam organisasi kesukuan di satu kenagarian maupun pada sebuah organisasi modern lainnya.
Perbedaan antara kalangan tua dan muda biasanya terjadi pada tataran cara pandang dan tata cara penanganan suatu persoalan, baik dalam pemikiran maupun dalam tindakan.
Para kalangan muda, dengan kemudaannya suka alpa dalam bertindak, menabrak tata aturan, asal main sikat saja.

Sementara para kalangan tua sudah semestinya memiliki banyak pertimbangan walau terkesan lamban tapi masalah terselesaikan. Begitulah dinamika suatu cara pandang antara kelompok tua dan kelompok muda, tak jarang diantara dua generasi ini jika dipertemukan dalam sebuah momen me munculkan perseberangan.
Nan tuo manahan batin, pada sebagagian masyarakat ada juga yang menyebutnya dengan ungkapan nan tuo manahan ragam. Jika ditelisik lebih dalam petatah using ini kembali menyadarkan kita, terhadap berbagai resiko hidup yang imbasnya pada pertaruhan harga diri dan kepribadian Jika tidak hatihati menyikapinya. Kepatutan dan kepantasan dalam sikap dan perbuatan mesti disesuaikan dengan usia. Seiring dengan bertambahnya usia maka semakin tinggi tingkat kearifan yang dimiliki seseorang.
Dengan bertambahnya usia, makin banyak merasakan asam garam kehidupan, makin matanglah hendaknya dalam tindakan dan pemikiran.
Terbiasa memilah, menyeleksi berbagai tindakan dan pemikiran sehingga tak semua hal mesti diverbalkan. Dalam menyikapi satu persoalan, tak jarang para orang tua hanya menyikapi dengan seulas senyum, sebagai tanda sudah faham, tak perlu diujudkan lagi dalam bentuk perkataan,” Alun takilek lah bakalam”.
Begitulah nilai kearifan para kalangan tua. Ada pameo yang menyatakan “Lah mangecek pulo mangkok ka bedo”.
Nan mudo manahan lahie, jamaknya anak muda biasa ceroboh dalam bertindak, lebih megutamakan kekuatan dari pada pemikiran. Mempunyai kecenderungan sikap emosional, tak peduli dengan resiko yang akan dialami, hantam dulu, perkara belakangan.
Begitulah para anak muda bisa ceroboh sesuai dengan usia dan kemudaan yang yang mereka miliki. Kemampuan menahan dirinya cenderung lemah, mudah terjebak pada hal yang merugikan. Memang sudah menjadi sebuah kewajaran sebagai orang muda terkadang memiliki sikap ceroboh disertai dengan emosi yang labil.
Adagium “nan mudo Manahan lahie” mengingatkan para kalangan muda agar mawas diri, memiliki kemampuan yang baik dalam menata prilaku, pandai mengendalikan diri, piawai dan cerdas dalam emosional. “Mantangmantang tulang gadang, agakagak urang ka talendo”.
Akan lebih celaka lagi jika pepatah ini tak lagi dijadikan pedoman dan diamalkan.
Kondisi ini memungkinkan menjadi sumber petaka, terjadinya berbagai gejolak dan ketimpangan. Saat masingmasing pihak tidak lagi menyadari posisi kedirian dengan bijak, maka pegeseran nilai dan moralitas dalam masyarakat semakin menjadi salah arah. Yang tua berlagak muda, gaya dan tingkahnya tak mau kalah dari yang muda-muda, sebaliknya kalangan mudapun telah kehilangan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang yang lebih tua, semuanya sudah sama rata dan sama rasa pupuslah batas nilai dan norma yang ada, terutama pada budaya alam Minangkabau.
Bagalau taranak tangah padang, nan gaek ndak tau di gaeknyo, nan ketek ndak tau jo keteknyo.

Pado Pacah di Muluik, Bia Pacah di Paruik
BERKACA pada masa lalu, banyak para tokoh besar asal Minangkabau yang menjadi hebat dan terkenal dari satu sikap budaya yang telah mereka warisi yakni egaliter. Sikap egaliter yang dimilki oleh wangsa Minangkabau telah menciptakan ruang kritis bagi kedinamisan berfikir masyarakatnya. Silang pendapat serta beradu argument dalam berolah pikir merupakan hal yang biasa karena sudah terbentuk sedari awal, hal ini terlihat dalam setiap upacara adat yang selalu argumentatif.
Masyarakat Minangkabau telah terlatih dalam beradu argumen serta pemikiran dengan siapa saja, membicarakan nilai dan kebenaran demi kemaslahatan sudah menjadi hal yang biasa. Sikap egaliter dalam kebudayaan Minangkabau telah melahirkan para politikus tangguh, ahli kebudayaan handal dan berbagai professional lainnya.

Sebagai wangsa yang memiliki kebebasan berfikir serta egaliter dalam bersikap, tidak lantas menjadikan wangsa ini menjadi etnis yang suka bertindak semaunya. Dibalik sikap egaliter terbangun kesadaran penuh terhadap suatu integritas diri. Dalam sikap egaliter yang diwarisi terkandung tanggung jawab besar terhadap diri sendiri dengan menjaga integritas yang memuliakan dan mengedepankan nilainilai kemanusiaan.
Tanpa disadari arus perubahan zaman menyebabkan telah terjadi pemaknaan dangkal terhadap sikap egaliter wangsa ini. Saat ini orang dapat saja berbicara semaunya tanpa filter, tak lagi mempertimbangkan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Masyarakat kita hari ini telah kehilangan daya selektif dalam bertindak dan berfikir, kalau berbicara suka seenaknya apakah orang lain akan tersinggung atau terhina tak menjadi soal. Masyarakat cenderung tak mempertimbangkan lagi kepantasan dan kepatutan akibatnya kondisi menjadi pemicu berbagai persoalan dan potensi menimbulkan permusuhan antar sesama.
Pado pacah di muluik bia pacah di paruik merupakan filter dan sikap selektif yang harus dimiliki. Tak semua perkataan harus di ucapkan, ada tempatnya dan ada saatnya, inilah makna yang terkandung dari ungkapan diatas. Ini adalah semacam sikap selektif dan kehati-hatian saat berbicara, dengan mempertimbangkan berbagai dampak sebagai akibat dari pembicaraan tersebut, tanpa harus kehilangan daya kritis tentunya.
Melakukan pembicaraan dengan yang orang yang lebih dewasa, orang tua maupun yang muda sudah seharusnya mengutamakan kepantasan dan kepatutan. Sementara yang terjadi pada saat ini, mana yang tak patut dibicarakan itu yang menjadi topik hangat, mana yang harus dibicarakan malah didiamkan.
Sisi lain dari idiom ini juga dipelintir dan digunakan oleh sebagian orang untuk berbagi kebohongan. Ungkapan ini dimaknai sebagai bentuk kesetiakawan dan persekongkolan dalam satu kroni.
Dari pada harus melaporkan suatu kejahatan lebih baik disimpan saja dari pada masalah makin melebar dan ikut terseret dalam persoalan tersebut. Bagi sesama koruptor misalnya akan lebih baik merahasiakan teman koruptornya, rancak pacah diparuik, dari pada pacah dimuluik dengan membeberkan kejahatan korupsi beserta jaringannya pada khalayak ramai. Padahal makna yang terkandung dalam pepatah ini tidak demikian, pado pacah di muluik bia pacah di paruik merupakan sebuah integritas diri membangun watak yang bermartabat dalam masyarakat.


Bakulimek Sabalun Abih
KESUBURAN alam dan luasnya hutan merupakan sumber penghidupan yang tak berhingga dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Kekayaan alam tersebut dimanfaatkan masyarakat menjadi lahan garapan bersama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan perekonomian. Dengan sistem kesukuan yang dianut, masyarakat Minangkabau telah mengarifi, memanfaatkan serta mengolahnya untuk penghidupan.
Kekayaan alam merupakan warisan abadi diturunkan pada anak dan kemenakan dalam ujud pusaka tinggi. Warisan yang wajib dipelihara sebagai pertahanan ekonomi kaum dalam kurun waktu yang tak berbatas.

Prinsip mengarifi Kekayaan alam ditanamkan dalam bentuk pengelolaan secara komunal kaum dan suku. Pusaka yang telah diwarisi suatu kaum pada hakekatnya tidak ada yang boleh menjual maupun menggadaikannya, kecuali atas beberapa alasan tertentu menurut adat.
Seiring dengan perkembangan zaman dengan jumlah penduduk yang semakin banyak, sementara ketersediaan lahan dirasakan kian sempit. Kondisi ini disikapi oleh wangsa Minangkabau dengan melakukan perluasan wilayah dari pegunungan menuju pesisir yang lazim dibunyikan dalam adagium adat dengan merantau. Rantau menjadi wilayah alternatif bagi wangsa Minangkabau tempat ajang bertarung dalam menimba pengalaman dan pengetahuan sebagai bentuk pematangan jati diri. Selain itu profesi saudagar juga dijadi pilihan dominan orang Minangkabau dalam masa perantauannya sehingga wangsa ini dikenal sebagai saudagar yang ulet dan tangguh mengisi seluruh pelosok rantau dunia.
Sebagaimana lazimnya hidup merantau masuk ke wilayah baru, dimana hak belum tentu dapat berpunya. Jauh dari tanah kelahiran membentuk kesadaran baru bagi orang Minangkabau agar lebih hati-hati dalam menjalani hidup. Hidup dirantau tak sama dengan dikampung halaman. Wilayah rantau merupakan ajang perarungan bebas memaksa perantaunya untuk bersikap bijak dan hati-hati dalam mengarungi samudera kehidupan. Kondisi Ini menjadi perhatian dan disinyalkan melalui pepatah Minangkabau, “bakulimek sabalun habih”.
Bakulimek sabalun habih pepatah usang jadi petuah bagi niniak mamak, dan cerdik pandai saat melepas anak kemenakannya pergi bertarung menapaki kehidupan baru di perantauan. Ungkapan bakulimek merupakan sebuah bentuk pemahaman yang berkaitan dengan penataan sikap dalam manajemen tradisional wangsa Minangkabau. Menjauhkan diri agar tidak menjadi boros, menciptakan skala prioritas dengan menetapkan mana yang wajib dan mana yang sunat. Merancang strategi pengeluaran dengan jitu dan realistis adalah pesan utama dari pepatah ini. Seperti sebuah ungkapan dalam pepatah asing, Jika kita membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan maka kita segera akan menjual apa yang telah dipunyai.
Bakulimek sabalun habih menjadi peringatan bagi para perantau agar menjalani hidup lebih reilistis terhindar dari pukauan materialime yang menjerat. Berhemat bukan berarti menjadi kikir apa lagi bakhil. Sebuah penataan sistem perekonomian dalam manajemen sederhana untuk ketahanan ekonomi jangka panjang merupakan makna yang tersimpan dibalik ungkapan ini.
Berhemat adalah sebuah strategi jangka panjang menghindarkan dari berbagai kesulitan ekonomi yang sulit diduga. jika segalanya sudah habis maka harga diripun dapat menjadi kikis, bakulimek sabalun abih begitu pesan yang selalu disampaikan.


Pado Ditangkok Ragu, Ancak Ditangkok Harimau
HARIMAU, dalam masyarakat tradisional Minangkabau, biasanya juga disebut dengan sebutan inyiak. Gelar inyiak yang melekat pada hewan ini merupakan panggilan sebagai penghormatan agar terhindar dari kemarahan sang inyiak. Sebagian lagi ada juga yang menyebutnya dengan harimau atau rimau saja. Berbagai mitos dan aroma keghaiban berkembang dalam tradisi masyarakat Minangkabau mengenai inyiak balang ini. Beragam cerita yang ada ditengah masyarakat, dari harimau yang pandai bersilat sampai pada cindaku atau manusia yang mampu berubah wujud menjadi harimau. Selain itu harimau juga dijadikan sebagai hewan peliharaan untuk menjaga sawah dan ladang dan harta pusaka lainnya dari gangguan pihak lain. Dan jangan pula dibayangkan bahwa harimau peliharaan ini sama dengan harimau yang ada dikebun binatang. Hewan yang dipelihara ini adalah hewan ghaib yang kadangkala tak dapat dilihat secara kasat mata. Si pemeliharanya sudah tentu menguasai ilmu-ilmu ghaib juga.

Pilihan antara hidup dan mati adalah sebuah konsekwensi yang mesti ditemui jika berurusan dengan hewan yang satu ini. Keberanian menghadapi sebuah konsekwensi serta mempunyai ketetapan hati didalam pilihan adalah makna yang terkandung dalam pepatah tradisional Minangkabau ini. Pado ditangkok ragu, ancak ditangkok Arimau ungkapan yang menjadi penegasan dari sikap hidup, berani dan tegas di dalam menentukan pilihan. Tegas dalam kebijakan, sekalipun akan menjadi kontraproduktif dan tidak populer tetap lebih baik dari pada tidak melakukannya sama sekali.
Ditangkok ragu merupakan sebentuk sikap yang selalu ragu dalam bertindak, suka menghindar dan menelantarkan masalah lalu membiarkan sampai menggunung, lalu akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Selalu ragu seakan tak punya jati diri, gagap dalam bertindak, takut dalam memutus, dan sikap pengecut bukanlah watak wangsa Minangkabau. Sikap pengecut penuh keragu-raguan merupakan pantangan yang harus dihindari. Hidup dengan pilihan sendiri menjadi putusan yang tidak bisa ditawar, sebagai mana dipahami bersama bahwa dalam budaya Minangkabau setiap orang adalah pemimpin. Siklus hidup terus bergulir menggiring anak Minangkabau memikul tanggung jawab untuk menjadi seorang pemimpin bagi anak dan kemenakannya di dalam kaum. Pada saatnya mereka semua akan menjadi seorang pemimpin, berani bertindak dan memutus berbagai perkara dalam kapasitasnya entah sebagai seorang niniak mamak, seorang bapak, penghulu maupun alim ulama.
Demikian juga dengan para perempuannya, suatu saat mereka juga akan menjadi seorang ibu pimpinan dalam kaummnya yang disebut juga dengan bundo kanduang.
Jika karakter yang kuat tidak terbentuk secara dini, selalu diselimuti oleh keraguan dalam bertindak, apalagi mudah dipengaruhi pihak lain, sudah tentu berbagai kekacauan akan terjadi. Bercermin dari berbagai kenyataan yang terjadi akhirakhir ini, pada akhirnya hidup memang harus memilih, dari pado ditangkok ragu, ancak ditangkok arimau, jaleh iduik atau matinyo.


Bakulimek Sabalun Abih
KESUBURAN alam dan luasnya hutan merupakan sumber penghidupan yang tak berhingga dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Kekayaan alam tersebut dimanfaatkan masyarakat menjadi lahan garapan bersama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan perekonomian. Dengan sistem kesukuan yang dianut, masyarakat Minangkabau telah mengarifi, memanfaatkan serta mengolahnya untuk penghidupan.
Kekayaan alam merupakan warisan abadi diturunkan pada anak dan kemenakan dalam ujud pusaka tinggi. Warisan yang wajib dipelihara sebagai pertahanan ekonomi kaum dalam kurun waktu yang tak berbatas.

Prinsip mengarifi Kekayaan alam ditanamkan dalam bentuk pengelolaan secara komunal kaum dan suku. Pusaka yang telah diwarisi suatu kaum pada hakekatnya tidak ada yang boleh menjual maupun menggadaikannya, kecuali atas beberapa alasan tertentu menurut adat.
Seiring dengan perkembangan zaman dengan jumlah penduduk yang semakin banyak, sementara ketersediaan lahan dirasakan kian sempit. Kondisi ini disikapi oleh wangsa Minangkabau dengan melakukan perluasan wilayah dari pegunungan menuju pesisir yang lazim dibunyikan dalam adagium adat dengan merantau. Rantau menjadi wilayah alternatif bagi wangsa Minangkabau tempat ajang bertarung dalam menimba pengalaman dan pengetahuan sebagai bentuk pematangan jati diri. Selain itu profesi saudagar juga dijadi pilihan dominan orang Minangkabau dalam masa perantauannya sehingga wangsa ini dikenal sebagai saudagar yang ulet dan tangguh mengisi seluruh pelosok rantau dunia.
Sebagaimana lazimnya hidup merantau masuk ke wilayah baru, dimana hak belum tentu dapat berpunya. Jauh dari tanah kelahiran membentuk kesadaran baru bagi orang Minangkabau agar lebih hati-hati dalam menjalani hidup. Hidup dirantau tak sama dengan dikampung halaman. Wilayah rantau merupakan ajang perarungan bebas memaksa perantaunya untuk bersikap bijak dan hati-hati dalam mengarungi samudera kehidupan. Kondisi Ini menjadi perhatian dan disinyalkan melalui pepatah Minangkabau, “bakulimek sabalun habih”.
Bakulimek sabalun habih pepatah usang jadi petuah bagi niniak mamak, dan cerdik pandai saat melepas anak kemenakannya pergi bertarung menapaki kehidupan baru di perantauan. Ungkapan bakulimek merupakan sebuah bentuk pemahaman yang berkaitan dengan penataan sikap dalam manajemen tradisional wangsa Minangkabau. Menjauhkan diri agar tidak menjadi boros, menciptakan skala prioritas dengan menetapkan mana yang wajib dan mana yang sunat. Merancang strategi pengeluaran dengan jitu dan realistis adalah pesan utama dari pepatah ini. Seperti sebuah ungkapan dalam pepatah asing, Jika kita membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan maka kita segera akan menjual apa yang telah dipunyai.
Bakulimek sabalun habih menjadi peringatan bagi para perantau agar menjalani hidup lebih reilistis terhindar dari pukauan materialime yang menjerat. Berhemat bukan berarti menjadi kikir apa lagi bakhil. Sebuah penataan sistem perekonomian dalam manajemen sederhana untuk ketahanan ekonomi jangka panjang merupakan makna yang tersimpan dibalik ungkapan ini.
Berhemat adalah sebuah strategi jangka panjang menghindarkan dari berbagai kesulitan ekonomi yang sulit diduga. jika segalanya sudah habis maka harga diripun dapat menjadi kikis, bakulimek sabalun abih begitu pesan yang selalu disampaikan.

Kato Dahulu Kato Batapati
SEBAGAI masyarakat komunal dan hidup mengelompok dalam suku- suku, dalam hubungan interaksi sosial tradisi berunding merupakan bagian dari seremonial dalam budaya masyarakat di Minangkabau. Dalam setiap momen adat maupun keseharian, perundingan menjadi prioritas utama dalam mencapai suatu kesepakatan. Budaya berunding dalam masyarakat Minangkabau dapat terlihat saat memecahkan ragam masalah seperti, menetapkan batas ulayat, upacara perkawinan, sampai kematian, masalah harta pusaka dan sebagainya. Lalu hasil rundingan tersebut akan melahirkan apa yang dinamakan dengan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi dan dijalankan. Jika ada pihak yang mencoba melanggarnya, maka akan dihadapkan pada sanksi adat dan sanksi sosial.

Kato dahulu kato batapati, kato kudian kato bacari: ungkapan pepatah adat ini lazim digunakan untuk sebuah situasi penegasan ikrar dalam satu perundingan, baik pada upacara adat maupun kegiatan lainnya. Isi pepatah tersebut menjelaskan tentang sebuah sikap masyarakat Minangkabau dalam memahami sebuah kesepakatan bersama. Pepatah ini menegaskan bahwa berunding tidak semata menetukan hasil, akan tetapi tertompang sikap, prilaku dan budi pekerti didalamnya.
Pepatah di atas memiliki keluasan makna, didalamnya tersimpan kedirian masyarakat Minangkabau dalam mempertontonkan harkatnya sebagai manusia. Kato dahulu kato batapati: sebuah ungkapan yang mengandung dan menjujung tinggi nilai kejujuran, ketulusan serta kepatuhan terhadap sebuah janji. Konsistensi moral dengan melatih kejujuran pada diri sendiri dalam menjalankan sebuah komitmen yang sudah disepakati mesti dijalankan dengan konsekwen.
Kato kudian kato bacari merupakan upaya pengingkaran terhadap sebuah kesepakatan dalam satu perundingan. Biasanya kondisi ini dilatari oleh bermacam hal, mulai dari hasutan dan pengaruh pihak lain ataupun atas kemauan sendiri. kondisi ini sudah tentu tidak hanya berdampak pada gagalnya satu kesepakatan, tapi secara esensial kecacatan moral dan inkonsistensi dalam pendirian telah terbangun, menjadi stigma buruk yang berdampak tidak baik dalam hubungan sosial kemasyarakatan . Idiom ini juga menjadi gambaran untuk orang yang senang berkilah, pintar mencari alasan dalam mengalihkan persoalan.
Kato dahulu kato batapati, kato kudian kato bacari sebentuk sinyal budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dalam memahami pentingnya sebuah komitmen. Komitmen pada diri sendiri dan masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, jika hal ini terpakaikan tentu tidak ada masalah yang tak terselesaikan. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ditengah perkembangan pengetahuan, nilai moral makin tergerus disapu arus perubahan. Berbagai kearifan lokal telah dimanfaatkan dan dipelintir hanya untuk pembenaran. Tutur kata dikemas dengan lihai dalam retorika, kato dahulu kato batapati, kato kudian kato bacari dijadikan alat sebagai dalih menghindar diri dari sebuah janji maupun komitmen yang sudah diikrarkan.

Alah Limau Dek Binalu, Hilang Pusako Dek Pancarian
SIKAP terbuka dan adaptif telah mendasari budaya Minangkabau dalam membentuk pola pikir manusianya menjadi dinamis dalam memahami hidup dan kehidupan. Sikap dasar yang sudah dimiliki sejak lama ini sudah tentu tetap memiliki sisi positif maupun negatif. Kemampuan wangsa Minangkabau menyerap berbagai pengetahuan, menempatkan orang Minangkabau menjadi wangsa yang mudah bergaul dengan budaya lain dalam percaturan peradaban dunia. Sejumlah tokoh besar telah dilahirkan dari etnis Minangkabau dan mempunyai andil besar dalam pembentukan karakter bangsa.
Namun demikian kedaan ini tak selalu berkembang sesuai dengan apa yang telah terjadi. Pada saat ini masyarakat Minangkabau begitu permisif menelan bulat-bulat tanpa seleksi berbagai peru bahan yang tengah melanda.

Keadaan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Pengaruh westernisasi masuk ke segala lini lini kehidupan merubah prilaku, sikap dan gaya hidup. Gejala disorientasi pemahaman masyarakat terhadap berbagai perubahan menyebabkan degradasi nilai dan moral yang dianut. Fase serbuan westernisasi (Budaya Barat) sangat menggiurkan dan menyilaukan, ditengah meredupnya interaksi antar budaya timur. Nilai kearifan dalam budaya tradisi semakin tergerus, menghasilkan masyarakat konsumtif berpaling dari budaya asali.
Fenomena perubahan yang terjadi melanda, berimbas pada gaya hidup. Kebebasan tanpa rambu merupakan trend baru yang tak terelakan. Berani tampil beda terutama dikalangan muda mulai merambah. Dengan alasan ekspresi munculah berbagai kelakuan yang  terkesan semaunya. Tidak ada lagi norma dan tata aturan yang sesuai dengan latar budaya yang dimiliki. Begitulah ekspresi generasi muda kita saat ini, wajah mereka tetap melayu tapi stylenya barat. Anting dibibir maupun hidung sudah menjadi pemandangan biasa, rambut dicat warna warni dengan tatto dikulit, asesoris dan fashion adalah santapan keseharian mereka.
Mall dan cafe dijadikan sarana ajang ekspresi, disana dengan mudah dapat ditemui para anak muda kita dengan dandanan trendy tapi kemayu dan gemulai laiknya para gadis, serta para anak perempuan kita yang tak risih lagi mengumbar aurat dan berpakaian seperti lelaki. Begitulah gaya hidup yang telah tumbuh sebagai bentuk kebudayaan baru dalam kungkungan kehidupan tanpa batas dan bebas nilai, Alah limau Dek Binalu.
Benalu sejenis tumbuhan parasit yang menompang pada tumbuhan lain, jika tidak diantisipasi potensi menghisap dan membunuh pohon tempatnya tumbuh. Pengaruh dan perubahan yang terjadi pada dilingkungan dan budaya masyarakat yang tengah melanda perlu diwaspadai. Alah limau Dek Binalu, pohon limau sebagai sebuah simbol dari satu peradaban telah dikalahkan oleh tumbuhan benalu, sebuah gambaran tentang kikisnya sebuah kebudayaan dan digantikan oleh budaya asing. Sementara budaya sendiri habis tinggal artefak yang di laplap dalam museum. Upacara adat ditampilakan sesekali pada kegiatan seremonial atau pada sebuah upacara sebagai sebuah penanda kita pernah ada.
Hilang Pusako Dek Pancarian, pengabaian terhadap budaya yang diwarisi yang dimiliki, lumpuhnya kesadaran diri untuk memelihara dan menggali nilai yang terkandung didalamnya. Hilang Pusako Dek Pancarian sebuah kealfaan yang terbangun secara sistematis dalam memahami kebudayaan. Kecenderungan mengabaikan warisan tradisi yang dimiliki dengan melakukan pemujaan terhadap budaya asing telah menghilangkan kearifan lokal yang dimiliki sebagai warisan tradisional akan menghasilkan para generasi gamang yang melangkah tertatih tanpa akar. Alah limau dek binalu, hilang pusako dek pancarian. 


Bak Kayu Lungga Pangabek, Bak Batang Dikabek Ciek
WILAYAH darek atau pegunungan sebagai wilayah asal telah dibunyikan dalam tambo Minangkabau. Dari puncak gunung ini nenek moyang orang Minangkabau mengawali kehidupan dengan melakukan penerukaan membuka lahan baru. Di wilayah asal ini juga diciptakan sistem adat istiadat dan tata aturan agar tercipta masyarakat yang damai dan harmonis. Sebagaimana masyarakat pegunungan, mereka memanfaatkan alam sebagai penopang hidup, dengan memanfaatkan kayukayuan untuk membangun rumah, alat penunjang bagi pertanian, disamping dimanfaatkan juga sebagai kayu api. Dalam hal ini Kayu merupakan kebutuhan utama, sebelum ditemukan teknologi lain sebagai bahan pengganti.

Kayu api dimanfaatkan oleh para ibu rumah tangga untuk kegiatan dapur, dapur tidak akan berasap jika kayu untuk itu tidak tersedia. Tradisi kehutan mencari kayu bakar sudah menjadi suatu keharusan, dilakukan saat usai mengerjakan sawah dan ladang.
bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek, agaknya pepatah ini lahir dari kebiasaan masyarakat yang demikian. Idiom ini menjadi gambaran masyarakat Minangkabau dalam memahami nilai-nilai, disaat masyarakat membentuk kesatuan sosial. Dahan dan ranting diikat erat dalam satu kesatuan yang kuat agar bisa dibawa dengan mudah. Bila ikatanya longgar maka akan sulit dalam proses membawanya, kayu-kayu akan berserak, bersilang tak menentu. Saat dijujung atau dipikul jadi tak terkendali sehingga akan membebani perjalanan. Dengat ikatan yang tidak kuat maka Perjalanan seakan terasa jauh, lurah semakin dalam dan bukit semakin sulit untuk didaki.
Bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek menjadi cerminan dari kecenderungan masyarakat hari ini. Betapa erasa sulit menyatukan pendapat dan keinginan dalam kebersamaan. Kebiasaan berpolemik tanpa tata aturan, melanggar segala etika dan norma yang berlaku sudah bagai air mandi dan bisa disaksikan dimana saja. Dalam menanggapi ragam persoalan solusi yang didapatkan justru suasananya makin diperkeruh agar keadaan makin menjadi tak menentu.
Sebaliknya batang dikabek ciek merupakan sebuah perumpaan sikap dari orang yang mempunyai kecenderunga mengikatkan diri dalam sikap egoism akut, ingin menang sendiri tidak suka mendengar pendapat orang, tidak ingin bersosial dalam masyarakat. Kalaulah hanya untuk sebatang kayu sudah tentu tidak diperlukan lagi ikatan, sebab akan menjadi mubazir, kayu sebatang dengan mudah dapat disandang atau dijujung.
Agaknya era keterbukaan yang telah melanda negeri ini cenderung disikapi secara keliru, telah tercipta sebuah arena kebebasan yang lepas kendali dan tidak terkontrol. Norma dan nilai masyarakat tidak lagi dipedulikan, dilabrak dengan semena-mena. Sikap ingin menang sendiri tidak lagi suka berawak-awak untuk sebuah kebersamaan tak lagi dimilki, apalagi bila sudah menyangkut dengan kepentingan dan kekuasaan.
Terasa betapa sulit bagi kita hari ini menyatukan visi dan pendapat demi kepentingan bersama, Bak kayu lungga pangabek.
Sudah saatnya kita bangkitkan kembali semangat kebersamaan untuk kesejahteraan bersama dalam partisipasi social dengan mengenyampingkan ego dan kepentingan pribadi, dengan membangun lagi semangat kekitaan, baawak-awak.


Bak Kayu Lungga Pangabek, Bak Batang Dikabek Ciek
WILAYAH darek atau pegunungan sebagai wilayah asal telah dibunyikan dalam tambo Minangkabau. Dari puncak gunung ini nenek moyang orang Minangkabau mengawali kehidupan dengan melakukan penerukaan membuka lahan baru. Di wilayah asal ini juga diciptakan sistem adat istiadat dan tata aturan agar tercipta masyarakat yang damai dan harmonis. Sebagaimana masyarakat pegunungan, mereka memanfaatkan alam sebagai penopang hidup, dengan memanfaatkan kayukayuan untuk membangun rumah, alat penunjang bagi pertanian, disamping dimanfaatkan juga sebagai kayu api. Dalam hal ini Kayu merupakan kebutuhan utama, sebelum ditemukan teknologi lain sebagai bahan pengganti.

Kayu api dimanfaatkan oleh para ibu rumah tangga untuk kegiatan dapur, dapur tidak akan berasap jika kayu untuk itu tidak tersedia. Tradisi kehutan mencari kayu bakar sudah menjadi suatu keharusan, dilakukan saat usai mengerjakan sawah dan ladang.
bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek, agaknya pepatah ini lahir dari kebiasaan masyarakat yang demikian. Idiom ini menjadi gambaran masyarakat Minangkabau dalam memahami nilai-nilai, disaat masyarakat membentuk kesatuan sosial. Dahan dan ranting diikat erat dalam satu kesatuan yang kuat agar bisa dibawa dengan mudah. Bila ikatanya longgar maka akan sulit dalam proses membawanya, kayu-kayu akan berserak, bersilang tak menentu. Saat dijujung atau dipikul jadi tak terkendali sehingga akan membebani perjalanan. Dengat ikatan yang tidak kuat maka Perjalanan seakan terasa jauh, lurah semakin dalam dan bukit semakin sulit untuk didaki.
Bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek menjadi cerminan dari kecenderungan masyarakat hari ini. Betapa erasa sulit menyatukan pendapat dan keinginan dalam kebersamaan. Kebiasaan berpolemik tanpa tata aturan, melanggar segala etika dan norma yang berlaku sudah bagai air mandi dan bisa disaksikan dimana saja. Dalam menanggapi ragam persoalan solusi yang didapatkan justru suasananya makin diperkeruh agar keadaan makin menjadi tak menentu.
Sebaliknya batang dikabek ciek merupakan sebuah perumpaan sikap dari orang yang mempunyai kecenderunga mengikatkan diri dalam sikap egoism akut, ingin menang sendiri tidak suka mendengar pendapat orang, tidak ingin bersosial dalam masyarakat. Kalaulah hanya untuk sebatang kayu sudah tentu tidak diperlukan lagi ikatan, sebab akan menjadi mubazir, kayu sebatang dengan mudah dapat disandang atau dijujung.
Agaknya era keterbukaan yang telah melanda negeri ini cenderung disikapi secara keliru, telah tercipta sebuah arena kebebasan yang lepas kendali dan tidak terkontrol. Norma dan nilai masyarakat tidak lagi dipedulikan, dilabrak dengan semena-mena. Sikap ingin menang sendiri tidak lagi suka berawak-awak untuk sebuah kebersamaan tak lagi dimilki, apalagi bila sudah menyangkut dengan kepentingan dan kekuasaan.
Terasa betapa sulit bagi kita hari ini menyatukan visi dan pendapat demi kepentingan bersama, Bak kayu lungga pangabek.
Sudah saatnya kita bangkitkan kembali semangat kebersamaan untuk kesejahteraan bersama dalam partisipasi social dengan mengenyampingkan ego dan kepentingan pribadi, dengan membangun lagi semangat kekitaan, baawak-awak.


Maelo Karajo Jo Usaho, Maelo Parang Jo Barani, Nan Budi Usah Tajua
MENYIKAPI berbagai fenomena perubahan dalam kebudayaan Minangkabau sebenarnya tak lepas dari gejala alam yang semestinya telah di arifi oleh masyarakatnya. Alam merupakan guru dan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Dari alam lah semua gagasan dan pemikiran dilahirkan dalam menghadapi dan menyikapi komplekitas tantangan zaman. Tinggal lagi bagaimana kita menterjemahkan tanda-tanda alam, lalu menyarikan ke dalam konstruksi pemikiran dalam bangun pengetahuan sebagai strategi menyikapi gejala yang menandai perubahan tersebut.

Dalam konteks pertahanan diri dan inisiatif yang mesti dilakukan menghadapi segala tantangan yang pasti datang, peletak konsep tradisi budaya Minangkabau begitu sadar akan kenyataan yang dapat terjadi di masa depan. Menghadapi kenyataan akan perubahan yang harus dilalui, sesuatu yang tidak bisa diduga namun pasti terjadi, memerlukan warisan konseptual sebagai penuntun langkah agar tidak tersesat di perjalanan, dalam membangun harapan untuk kehidupan ke depan yang lebih baik dari sebelumnya. Kesadaran akan berbagai tantangan dan perubahan dalam menjalani kehidupan itu telah disarikan dalam ragam pepatah petitih, pantun dan mamangan adat. Maelo karajo jo usao, maelo parang jo barani, nan budi usah tajua merupakan satu mamangan adat yang berkaitan dengan bagaimana strategi untuk menghadapi tantangan zaman.
Maelo karajo jo usao, menjelaskan tentang pentingnya inisiatif. Adanya subjek yang berani memulai berbuat, agar yang lain dapat mengikuti. Sebuah konsekwensi logis dalam hidup bahwa sebuah usaha keras dalam mencapai sesuatu yang diinginkan menjadi mutlak adanya. Maelo parang jo barani sebuah perumpamaan yang lebih dimaknai pada aspek psikologis, betapa pentingnya memacu semangat dan harapan, berani menghadapi tantangan, resiko hidup atau mati, kalah maupun menang, sebagai sebuah konsekwensi yang mesti diterima dalam ‘peperangan’, peperangan dalam berbagai wujud.
Maelo karajo jo usao, maelo parang jo barani merupakan strategi mewujudkan cita-cita yang ingin diraih dalam kehidupan. Usaha dan keberanian menjadi titik berangkat dalam mencapai hasilnya. Suka bekerja keras dan mempunyai keberanian dalam menghadapi rintangan adalah pesan yang disampaikan dalam idiom ini.
Namun demikian, usaha dan keberanian saja dalam hal tidaklah cukup, keduanya harus dibarengi dengan kejujuran. Adat Minangkabau tidak hanya memandang hasil yang dapat diraih, tetapi juga memperhitungkan bagaimana cara meraihnya, proses apa yang sudah dijalani untuk mencapai sesuatu yang diinginkan menjadi nilai yang penting. Ia harus lah senantiasa ada dalam cara-cara yang tak meyalahi koridor adat, semuanya mesti dipertimbangkan jangan sampai mengorbankan harga diri, bercacat-cela dalam pandangan masyarakat. Oleh karenanya mamangan adat mengingatkan, Maelo karajo jo usaho, maelo parang jo barani,nan budi usah tajua.
Adat Minangkabau sedari awal telah menyiapkan perangkat pengetahuan agar masyarakat senantiasa siap menghadapi berbagai tantangan. Pembiasaan pola hidup yang demikian memunculkan kemandirian dan inisiatif yang tinggi bagi individu, untuk menjadi motor penggerak kemajuan bagi zamannya, tanpa harus tenggelam terbawa arus peradaban baru, karena adanya kemampuan menjaga agar budi jan tajua.
Akan tetapi, hari ini masih pentingkah menjaga budi bagi masyarakat kita? Kita cenderung pragmatis, ingin dapat banyak dengan usaha yang seminimnya. Proses sudah tidak kita pentingkan, soal cara jangan ditanya, hasil yang banyak lah yang menjadi tujuan.
Ondeh Mak…
Betapa kasarnya materialism telah membenamkan kepala kita.


Bondong Aie, Bondong Dadak
SEBUAH tradisi menarik di masyarakat kita dalam menghadapi berbagai peristiwa adalah dengan kebersamaan yang dibentuk oleh sebuah ikatan rasa. Rasa sepenanggungan dalam meringankan berbagai beban, yang memungkinkan aktivitas sosial berlangsung dalam semangat patisipasi. Malu rasanya bila tak ambil bagian, setiap anggota masyarakat merasa wajib sato sakaki.
Rasa kebersamaan pada budaya Minangkabau masa lalu itu telah tersistemkan dalam berbagai tradisi dalam komunitas masyarakat. Tradisi bajulo-julo, turun bersama menggarap sawah atau ladang, melaksanakan gotong royong yang melibatkan semua unsur masyarakat dalam sebuah kegiatan nagari, membangun sarana pengairan, memperbaiki jalan kampung serta berbagai fasilitas umum lainnya.

Berbagai kearifan lokal dalam kebersamaan di masyarakat tradisional diwujudkan dalam kegiatan formal maupun non formal, dalam bentuk ritual maupun sosial mereka. Tidak ada pamrih, semuanya dilakukan dengan kesadaran tinggi demi sebuah capaian bersama. Masyarakat akan berbondongbondong datang, mempersamakan kerja dalam satu tujuan.
Namun budaya tradisional yang demikian tampaknya semakin memudar dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi hari ini, munculnya sebuah fenomena baru dalam masyarakat kita. Mereka berbondong-bondong juga, tetapi dengan tujuan yang sangat individual. Dalam kejaran ingin menjadi yang terdepan dalam modernitas diri, mereka sangat akomodatif dalam menyerap budaya konsumtif dan konsumeristis dan serba pamrih, yang mengikis rasa kebersamaan.
Masyarakat kita mungkin telah memerangkap diri mereka dalam efouria massa yang akut, tak lagi mengenal diri dan tak paham dengan apa yang sedang mereka kerjakan. Yang ada hanya kepentingan dan materi yang menjebak pada pengorbanan yang sia-sia, sebagaimana diingatkan dalam adagium adat kita, bondong aie bondong dadak, awak tasorong urang tagak.
Bondong aie bondong dadak, terjebak dalam arus deras pusaran peradaban yang tak jelas sumbernya, seumpama tumpukan dedak hanyut, terombang ambing dalam arus, perlahan namun pasti akhirnya tenggelam dihisap derasnya air. Mereka terbawa arus dalam ketakmengertian pada apa yang sedang dihadapi dan yang dilakukan, asal ikut dan terlibat. Bila sudah demikian sama saja dengan menjebakkan diri pada kesia-siaan. Pengibaratan sikap yang bondong aie bondong dadak dalam prilaku berbudaya yang tengah menjangkiti orang-orang Minangkabau saat ini, merupakan sebuah gambaran masyarakat yang hanya menjadi kumpulan massa yang mudah diperalat, laiknya sekumpulan kerbau yang dicocok hidung sehingga mudah dikendalikan, sekumpulan massa yang kehilangan pendirian dan jati diri.
Bervalentine day orang, bervalentine day pula kita, bertahun baru orang kita juga tak mau ketinggalan, entah apa maknanya tak perlu paham, yang penting ikut serta pula. Atau bahkan mungkin dalam tindakan yang lebih dari sekedar perayaan, kita juga hanya terjebak dalam semangat budaya massa yang sama?
Bondong aie bondong dadak bagi masyarakat kita merupakan sebuah peringatan, pemahaman tentang kedirian agar tidak terjebak dalam budaya histeria akut yang berbahaya bagi perjalanan peradaban masyarakat kita.
Kondisi ini seyogyanya menjadi perenungan kita bersama, dalam setiap pergantian musim maupun tahun. Sebuah refleksi tentang kebaruan dan pencerahan agar tak hanya menjadi harapan saat terompet tahun baru dikumandangkan yang hanya menjadi cita-cita klise dalam kebersamaan. Saat massa memenuhi jalan-jalan, gedunggedung opera dan pertunjukan, lalu disorakkan puisi-puisi yang memabukkan tentang pencerahan, ditimpali dengan yelyel massa yang berefouria.



Bacolok co Kain Bugih, Marekan malah kironyo
BA COLOK jo kain bugih marekan molah kironyo. Idiom ini populer lewat lirik lagu yang dilantunkan Tiar Ramon, penyanyi Minang era 8o-an. Lirik itu bersumber dari mamangan adat Minangkabau. Lagu itu bercerita tentang perbedaan status social dalam relasi manusia dalam konteks romantisme, percintaan pemuda miskin yang penuh harap mendapatkan gadis kaya dan bangsawan.
Sudah barang tentu, konteks mamangan tersebut tidak sesederhana seperti lirik lagu Minang di atas. Kain bugih (bugis) merupakan kain sarung yang dikenakan dalam upacara adat di Minangkabau. Lakilaki yang sudah memakai gelar adat, di setiap kegiatan seremonial adat akan menyampirkan kain bugih di bahunya atau menyelempangkannya di badan sebagai simbol dari status kehormatan menurut adat. Warna kain menunjukkan kebijaksanaan pemakainya, warna merah biasanya menjadi pakaian yang lebih muda, coklat dan hitam menunjukkan kedalaman kearifan lakilaki yang sudah berumur yang memakainya. Makin bagus kain yang dipakai menunjukan juga kelas pemakainya.

Marekan hanya kain yang terbuat dari benang kasar. Sekarang lazim dijadikan karung tepung. Pada masa lalu, kain marekan juga dipakai sebagai kain basahan (kain penutup yang dipakai saat mandi) mandi di tapian. Paling tinggi fungsinya jadi sarawa piluruik pakaian dalam favorit para lelaki tua di Minangkabau. Bila kain marekan di colok (diwarnai) layaknya kain bugih, tampilan luarnya bisa saja sama tapi kualitasnya dasarnya tetap beda.
Demikian masyarakat Minangkabau memproduksi makna dalam mengarifi hidup dan karakter manusia dalam bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat, yang dapat pula diaktualkan dalam menyigi tingkah polah manusia dalam kehidupan kita hari ini. Kepalsuan dalam berbagai praktik dan gejala yang terjadi dalam masyarakat merupakan gambaran nyata dari pengertian yang dibangun oleh mamangan tersebut, yakni pencitraan diri.
Colok atau warna (representasi diri) yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya, bukan warna asli. Dengan kata lain citra atau pencitraan yang dibangun memberi kesan lebih dari kondisi yang real. Banyak kalangan seperti, para bangsawan, seniman, politikus, usahawan penguasa dan bahkan ilmuwan, saat ini sudah jamak membangun kesuksesan dengan cara demikian.
Dunia pencitraan menjadi suatu yang dianggap sangat penting. Bagi yang tidak pandai membangun citra diri, maka bersiaplah untuk tenggelam dan tidak dikenal banyak orang. Untuk dapat eksis berbagai cara kemudian dilakukan, dan media informasi menjadi sarana vital.
Dalam dunia artis dan selebritas misalnya, melalui media massa dapat disaksikan bagaimana mereka dengan heboh membangun citra dihadapan publik, tiba-tiba saja segala persoalan yang mereka hadapi seolah sudah menjadi urusan kita pula. Dari soal cerai, selingkuh, kehidupan glamour, hedonis dan hidup dalam serba kepurapuraan.
Lihat juga fenomena yang terjadi pada saat ini. Polah para elit memanfatkan adat dan agama untuk kepentingan pencitraan. Pada masa pemilu kada misalnya ramai-ramai para peminat jabatan mengangkat diri sendiri jadi datuk, penghulu suatu kaum. Apakah mereka berhak atas gelar itu atau apakah mereka mengerti soal adat atau tidak itu tidak menjadi penting. Yang penting citra mereka sudah terbangun bahwa mereka orang beradat dengan embel embel gelar datuk dibelakang nama mereka. Celakanya lagi jangankan berpengetahuan soal adat dengan anak kemenakannya saja mungkin tidak saling mengenal.
Agama juga tidak luput menjadi alat untuk pencitraan demi kepentingan. Betapa fasihnya saat ini kita mengutip ayat-ayat suci Al- Qur’an, mengutip hadisthadist, tapi pada praktiknya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan yang diucapkan.
Pencitraan kemudian diteorikan dan menjadi kajian kalangan ilmuwan dan akademisi dalam studi kebudayaan (cultural studies dan sejenisnya). Berbagai masalah yang terpinggirkan nyaris tidak penting akan menjadi penting apa bila sudah diapungkan melalui kekuatan dari pencitraan. Jauh sesudah Minangkabau memformulasikan pencitraan dalam mamangannya. Dan kini saking canggihnya dunia pencitraan, sulit bagi kita mengenali mana bugih, mana marekan.

Makanan Anggang Ndak Kadapek Dek Pipik…
“MAKANAN anggang ndak kadapek dek pipik, makanan pipik ndak kadapek dek anggang” adalah salah satu pepatah usang yang sangat fasih diucapkan oleh masyarakat Minangkabau. Pepatah ini acap muncul saat masyarakat bercengkrama di lapau-lapau, di surau dan balai adat setelah melepas lelah sehabis bekerja. Itu dulu. Sekarang sudah agak jarang.
Pipik atau pipit adalah sejenis burung kecil yang gemar makan padi. Padi saat masa bersantan. Maka, burung pipik ini, menjadi musuh petani. Biasanya pipik datang bergerombol yang jumlahnya bisa mencapai ratusan, menyerbu buah padi menjelang berisi.

Sementara anggang (enggang, hornbill) juga merupakan sejenis burung yang punya paruh besar yang suka makan buah kayu yang berasal dari hutan serta memangsa ular, kelelawar dan jenis serangga lainnya. Pada saat ini habitatnya sangat sulit ditemukan. Burung ini sudahy langka dilindungi.
Pepatah “alam takambang jadi guru” terasa klise jika tidak dipahami dan dilaksanakan dalam memaknai kehidupan ini. Lalu apa kaitannya soal makanan pipik dengan anggang? Rantai makanan burung pipik dan anggang nyaris tidak dapat dipertemukan karena jenis makanannya sangat berbeda. Burung pipik makanannya adalah padi dengan bulir yang kecil-kecil, sedangkan burung anggang makanannya buah hutan yang keras serta kelelawar yang tubuhnya bisa lebih besar dari pada burung pipik.
Makna pepatah di atas boleh saja ditafsirkan secara bebas sebagai suatu perbedaan antara sifat dan karakter masyarakat atau seseorang di dalam menjalani berbagai pekerjaan dan profesinya. Pepatah di atas tentu tak mungkin ditafsirkan dengan membanding besar-kecilnya fisik kedua burung tersebut. Pipik haruslah berperan sebagai pipik yang selalu kecil dan anggang berperan sajalah sebagai anggang yang besar. Keduanya tak boleh saling intervensi atau saling bertukar makanan. Jika ini terjadi akan memunculkan persoalan dan masalah. Makanya, kedua jenis burung ini tak bisa bertukar makanan.
Burung pipik bisa tabulaliak biji matanya karena tak sanggup menelan makanan anggang, demikian juga sebaliknya anggang tidak akan pernah merasa cukup dengan makanan pipik yang kecil.
Demikianlah alam mengajarkan manusia mengenai kearifan dan sadar akan tugas dan posisi masing-masing. Pepatah ini mengajarkan manusia tentang sebuah posisi yang tepat dan ideal untuk tidak saling mengintervensi dengan menyadari sesungguhnya kita ini makhluk Tuhan dengan pembagian yang sudah jelas dalam menjalani hidup.
Pepatah itu memberi ruang keteladanan bagi manusia untuk menyadari dan menyikapi dengan arif berbagai posisi yang sudah digariskan. Tidak mengedepankan sikap-sikap ambisius, merasa mampu mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya bukan bidangnya.
Pepatah itu juga memberi keteladanan dan ajaran penting pada masyarakat dalam menjalankan profesi secara profesional di berbagai bidang. Dalam hal ini bukan berarti orang kecil akan tetap kecil dan orang besar selalu menjadi besar dan lantas jadi sombong, tidaklah demikian adanya. Dalam pepatah ini diajarkan bagaimana manusia memahami posisi dan menyadari kemampuan diri secara personal.
Masalah ini menjadi penting di tengah-tengah masalah yang dihadapi oleh negeri ini yang semakin lama semakin rumit. Kita selalu tidak puas dengan banyak masalah dan kebijakan yang muncul baik dari pemerintah maupun kebijakan dalam suatu lingkungan kecil seperti nagari, jorong, RT, RW dan sebagainya.
Contoh sederhana kita dapat bercermin pada lembaga-lembaga pemerintah dari lembaga tertinggi sampai yang terendah. Pada saat ini sistem penempatan orang dalam jabatan strategis tertentu tidak lagi mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitasnya. Tidak lagi mempertimbangkan apakah orang itu cocok dengan jabatan yang akan ditempatinya.
Pada praktiknya saat ini, tergantung koneksi dan kedekatan dengan para penguasa. Tidak penting apakah mereka pipik atau anggang.
Semuanya sudah berasa jadi anggang sehingga pada saat dipercaya terhadap suatu jabatan tertentu, maka roda kebijakan yang diinginkan masyarakat banyak tidak jalan sebagai mana yang diharapkan.


Nan Sabinjek
KALIMAT nan sabinjek sering kita dengar di dalam kosa kata masyarakat Minangkabau. Nan sabinjek paling sering didengar saat anak nagari belajar silat di sasaran-sasaran tradisional.
Pada saat akan memutus kaji atau silat, sang guru selalu berpetuah pada muridnya.
Petuahnya kira-kira begini:
“Pada suatu saat kalau kamu akan mengajarkan silat kepada orang lain nan sabinjek jan diagiahkan.”
Makna nan sabinjek tersebut dipahami dengan menyimpan beberapa jurus pamungkas yang tidak boleh diturunkan pada murid. Alasan menyimpan itu untuk antisipasi jika suatu kelak murid melawan guru bersilat dan “satu jurus” atau sabinjek masih dipegang guru.

Jika demikian artinya, tidak semua ilmu yang dimiliki sang guru diturunkan pada si murid. Ilmu nan sabinjek tersebut disimpan oleh sang guru sampai batas waktu tak terbatas. Konsekuensi sabinjek yang tak diturunkan guru itu berakibat putusnya satu ilmu. Dan lamakelamaan makin habis karena guru membawa mati ilmu tersebut. Rentetan dan hokum alamnya, setiap guru melakukan hal yang sama. Dan seseorang yang sebelumnya murid, kelak menjadi guru silat, juga melakukan hal yang sama kepada muridnya. Nan sabinjek tetap tak diturunkan. Akhirnya sabinjek demi sabinjek ilmu atau kepandaian yang disimpan menjadi tidak utuh tersampaikan dan habis atau punah. Maka kini yang ilmu silat yang diterima hanya tinggal bagian kulitkulitnya saja. Dan ini sudah berlangsung ratusan tahun.
Jika falsafah nan sabinjek memang menjadi pakaian bagi orang Minang dalam proses belajar dan mengajar, tentu saja hal ini menjadi kontra produktif untuk sebuah pengembangan ilmu di ranah ini, lama kelamaan semua ajaran yang ada tidak akan berkembang sebagai mana mestinya baik ajaran adat, agama, silat dan pengetahuan lain semakin jadi dangkal.
Kenyataan hari ini, tidak banyak lagi kita temukan anakanak kita yang menaruh hormat pada orangtua, sanak saudara, mamak, guru dan lingkungan. Di sekolah-sekolah para murid tidak lagi mengenal gurunya kecuali yang masuk ke kelasnya saja. Di rumah, anak-anak tidak lagi mengenal mamak, datuk dan inyiaknya. Para inyiak, mamak, datuk dan para orangtua juga tidak lagi mengenalkan hubungan relasi antar sanak familinya pada anak-anak mereka. Mereka juga telah kehilangan kearifan. Karena nan sabinjek tetap menjadi rahasia yang tidak lagi diketahui oleh para pewarisnya.
Menurut pendapat penulis, nan sabinjek mengandung pengertian yang hakiki dalam kedirian manusia yakni harga diri. Karena harga diri tidak boleh dijual maupun terjual. Harga diri atau nan sabinjek adalah ilmu pamungkas yang harus dipertahankan. Jika demikian adanya, tentu sudah benar kearifan yang diwariskan oleh budaya Minangkabau yang menyatakan nan sabinjek nambek diagiahkan.
Padahal ungkapan nan sabinjek dalam falsafah adat Minangkabau merupakan sesuatu yang dekat dengan kedirian, sesuatu yang sifatnya sangat personal, yakni harga diri. Puncak pencarian dari segala pengetahuan gunanya untuk membentuk harga diri, sehingga tercipta karakter manusia yang kuat.
Jika kita, bangsa ini sudah kehilangan harga diri, tidak penting apakah dia seorang guru, pejabat, walikota, anggota dewan, gubernur sampai presiden, maka berarti mereka sudah kehilangan nan sabinjek.

Nan sabinjek bagi orang Minangkabau adalah nan kuriak kundi dan merah sago, nan baiak budi nan indah baso. Pertanyaanya, dalam kondisi saat ini, masihkah nan sabinjek itu, ada bertahan dalam diri kita, dalam diri orang Minangkabau.

Rabu, 14 Mei 2014

Pesan Rang Gaek ... Jauhilah Fitnah

PLURALITAS
MENGHORMATI IDENTITAS MASING-MASING
ISU-ISU KRITIS DALAM PLURALITAS KEBERAGAMAAN
(PENGALAMAN DALAM MENDAMPINGI UMAT)
OLEH : BUYA H. MAS’OED ABIDIN
“dan tiap-tiap umat ada tujuan (kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…,
di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS.2, al-Baqarah : 148)
Seringkali kalau kita mendengar ”kemajemukan” atau ”pluralitas” terganggu karena ”isyu-isyu pengembangan agama”.
Umat Islam yang berada di lapangan, di kota-kota, ataupun di desa-desa, di pinggir-pinggir pantai ataupun di kaki-kaki gunung, bukan saja mengetahui, akan tetapi ikut merasakan bagaimana meningkatnya upaya pengubahan keyakinan agama itu, walau sudah dianut mereka secara turun temurun.
Ekspansi misionaris – misalnya –, tidak semata diarahkan ke”suku terasing” yang belum beragama saja.
Tapi meningkat juga diarahkan kedaerah-daerah yang menjadi pusat kebudayaan Islam – sejak lama –, seperti Aceh, Mandailing, Minangkabau, Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi, Amuntai, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sambas, Kalimantan Barat dan lain-lain, meningkat juga ekspansi itu, sebagai bagian aksi proselytisme (kegiatan menyebarkan agama) terhadap umat yang sudah beragama untuk berpindah kepada agama tertentu, dan kadang-kadang dilakukan dengan bermacam-macam cara.
Coraknya dapat bermacam.
Hakekatnya sama, ”Riak proselytisme menumpang dengan gelombang globalisasi, liberalisasi dan hak asasi”.
Riak-riak ini, merusak kemajemukan dalam tata bermasyarakat pluralis itu.
Kemajemukan dalam bermasyarakat menjadi sulit dikembangkan, ketika tidak ada sikap menghormati identitas dan keyakinan masing-masing.
Penyeragaman keyakinan akan merampas hak asasi manusia yang hakiki.
Pluralitas akan tumbuh subur diatas lahan menghormati asas universalitas ajaran agama dengan sikap keberagamaan yang luhur.
Penyiaran agama tidak dilakukan semberono dan menyinggung perasaan. Kemajemukan akan rusak, jika pengembangan agama tidak menyikapi suasana lingkungan adat kebiasaan dan kesopanan.
Kemajemukan tumbuh subur dalam kehidupan berbagai corak, bila terpupuk rasa percaya mempercayai dan mengindahkan perasaan sesama.
Penyiaran agama mesti mematuhi rambu-rambu, yakni tidak ditujukan kepada yang sudah beragama…
Pluralitas dalam satu kehidupan masyarakat beradat terbina baik, ketika ada kesadaran menjaganya dengan teratur dan cara-cara yang baik pula.
Kesadaran itu lahir karena pengenalan atas sifat dan identitas masyarakat beradat-budaya. Minimal mengenali tingkat sosial masyarakat, tentang keadaan keyakinan dan etnografis pemahaman, serta aspek geografi dan demografi, sejarah dan latar belakang masyarakat, kemudian kondisi sosial-ekonomi dan budaya, adat-istiadat yang berbeda.
Sangat perlu adanya pemahaman, bahwa hakikatnya, setiap tanah ditumbuhi tanaman khas, setiap etnik memiliki adat budaya dan anutan tersendiri juga. Pengetahuan ini amat berguna untuk memperbaiki masyarakat dengan semangat ihsan dan memelihara kemajemukan serta peka dengan sikap pluralitas.
Pergaulan dalam kemajemukan, sebenarnya berasal dari ajaran Agama.
Yang tidak bisa menyayangi sesama manusia tidak akan disayangi oleh Allah. (Muttafaqun- ‘alaih)
Penolakan asas agama, memunculkan pemecahan umat manusia (firaq) dari keterikatan kerjasama (ta’awun), menjadi dua pihak (hitam dan putih, diniyah dan laa diniyah).
Seakan yang satu, disiapkan harus berhadapan langsung dengan yang kedua, dalam satu satuan perang ideologi secara bengis, penuh kecurigaan dan intimidasi.
Pemisahan bagai belah bambu ini, memungkiri segala keutamaan budi manusia.
Menyuburkan pertentangan akan menjauh dari kepentingan bersama dalam satu gemeente collectiviteit atau jamaah agama yang menjadi dasar perhubungan keselarasan hidup manusia.
Kekacauan mengakibatkan pemborosan tenaga, penghamburan harta dan pengorbanan jiwa yang percuma dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Kekacauan juga akan membawa ikhtiar ke jalan buntu dan keruntuhan.
Semestinya umat Islam menolak tiap-tiap usaha dari pihak manapun yang mengakibatkan kelumpuhan negara serta alat-alatnya.
Pluralitas akan selalu ada, ketika terjaga identitas masing-masing. Penyeragaman akan merampas hak asasi.
Pluralitas akan lenyap dikala ada upaya pemaksaan pada tataran pergaulan kehidupan bermasyarakat.
Hilangnya saling menghormati berakibat penderitaan dan kekacauan di seluruh sektor serta berlaku perampasan hak-hak dan hilangnya kepercayaan, lambat laun menjadi semacam perasaan putus asa.
Ketika itu, tampak jelas raut wajah masyarakat hidup diatas puing reruntuhan kebudayaan, karena kehilangan kesadaran dan kearifan.
Masyarakat yang melupakan secara sengaja ajaran Rasul Allah, akan tumbuh menjadi kelompok perusuh. Ajaran Islam adalah kasih sayang.
Sumatera Barat (Minangkabau) umumnya beragama Islam. Mereka paham agamanya. Mereka pelihara prinsip hidup berakidah dan istiqamah. Ada identitas anak Minangkabau, sebagai izzah martabat diri,
” Jikok di anjak urang banda sawah, jikok di aliah urang batu pasupadanan, jikok di ubah urang kato pusako, jikok di anjak urang kato nan bana, Busuangkan dado padek-padek, paliek-kan tando laki-laki, ja-an takuik nyawo malayang, ja-an cameh darah taserak, tabujua lalu tabulintang patah, aso hilang duo tabilang,
Mamangan ini punya arti yang dalam ;
Jika dipindahkan orang bandar (irigasi) sawah,
dialih orang batas sepadanan (batas tanah hak milik),
apabila diubah kata pusaka (adat budaya yang sudah diakui sejak
lama), jika dianjak orang kata yang benar (artinya hilang prinsip
musyawarah dan saling menghargai, atau hilangnya law-enforcment
dan berlaku penjajahan dan penginjakan hak-hak asasi),
maka, “busungkan dada dan perkuat tempat tegak, perlihatkan bahwa
kita memiliki sifat laki-laki — artinya, tidak boleh dianggap remeh
saja –. Jangan takut nyawa melayang, walau beribu cobaan yang
datang, tetaplah berdiri sebagai pembela yang benar.
Jangan cemas darah tertumpah. Terbujur lalu terbelintang patah.
Esa hilang dua terbilang.

Arti yang disimpan mamangan ini dalam sekali.
Di antaranya, “jika dialih orang tanpa hak, bandar sawah, pancang pasupadanan (batas-batas ulayat)”, maknanya jika terjadi perkosaan hak, setiap diri wajib mempertahankan agar tidak disebut zalim.
Begitu pula, bila diubah orang kata pusako (adat istiadat), dan berubah janji kebenaran – seperti Pasaman sejak 1953 misalnya –, adalah menjaga hak identitas keyakinan dan budayanya semata.
————- Sebuah catatan sejarah
Pada tahun 1953, masyarakat Pasaman telah membuktikan kemajemukan bermasyarakat, menerima saudara sebangsa setanah air dari Jawa dan Suriname, yang ditempatkan di Kecamatan Pasaman. Kedatangan mereka diterima penduduk sebagai saudara dalam sesuku, ”berat sepikul ringan akan sejinjing”. Saudara baru itu ditempatan di atas tanah-tanah ulayat penduduk Pasaman tanpa ganti rugi, berdasarkan penyerahan hak tanah ulayat oleh Ninik Mamak nagari bersangkutan dalam istilah adat, “Inggok mancangkam, tabang basitumpu. Dima bumi di pijak di sinan langik di junjung“.. Artinya pendatang (transmigran) itu tunduk pada ketentuan adat-istiadat yang berlaku, dan diterima sebagai anak kemenakan, dalam hukum adat Minangkabau yang beragama Islam (Dokumen 9 Mei 1953).
Sejak tahun 1953 tercatat penyerahan tanah ulayat masyarakat, ”… pada bulan Mei 1953 sebagian Ulayat Tongar Air Gadang, Ulayat Kapar (Padang Lawas), dan 9 Mei 1953 Ulayat Koto Baru (Mahakarya), dan tanah ulayat Desa Baru, untuk transmigrasi dari Suriname di daerah Sungai Beremas. Tahun 1957, Kota Raja, Kenagarian Parit, Sungai Beramas. Tanggal 26 September 1961 penyerahan tanah Ulayat Kinali Bunut Alamanda, Kecamatan Pasaman. Pada 25 April 1964, sebagian Ulayat Kinali Lepau Tempurung, Kecamatan Pasaman. Tahun 1965, Air Runding, Kenagarian Parit Kecamatan Sungai Beramas”. Pasaman adalah daerah yang memelihara kemajemukan dan toleransi besar. Hubungan keakraban berlangsung baik sampai akhir tahun 1956, karena pada 30 November 1957, Kepala Nagari Kapar (Dulah) bersama dengan Pucuk Adat (Daulat Yang Dipertuan) dan Ninik Mamak (Dt. Gampo Alam) yang dikuatkan oleh Alim Ulama (Buya Tuanku Sasak) serta Cerdik Pandai, menolak “permintaan umat Katolik tersebut di dalam lingkungan ulayat (tanah adat) Koto Baru dan Kapar ”.
Sejak setengah abad lalu, orang Pasaman berkata, “Kami segala pemangku adat, alim-ulama, cerdik-pandai tetap tidak setuju, apalagi negeri kami ini dusun, bukanlah kota, kalau di kota kami tidak berkeberatan sedangkan masyarakat transmigrasi sudah menurut adat kami, dan berkorong berkampung – di ulayat kami–.”( Kutipan dokumen Pemda Pasaman tanggal 30-11-1957). Sungguh begitu pedih, masyarakat tidak terhalang menyerahkan tanah ulayat mereka. Pada tanggal 26 September 1961, Kerapatan Adat Nagari Kinali, ditandatangani 27 Ninik Mamak,3 Alim Ulama, 3 Cerdik-pandai mewakili 100 anggota KN atas nama penduduk Nagari Kinali, menyerahkan tanah ulayat untuk penampungan warga pendatang tanpa ganti rugi, dengan batas-batas : ” dari Muara Batang Pinagar ke Pangkalan Bunut , dari Pangkalan Bunut sampai ke Muara Sungai Balai, dari Muara Sungai Balai sampai ke Tanda Batu (sepanjang 1 Km), dari Tanda Batu sampai ke Kampung Barau, dari Kampung Barau ke Kampung Teleng, dari Kampung Teleng, sampai ke Muara Batang Tingkok, dari Muara Batang Tingkok ke Muara Batang Timah, dari Muara Batang Timah Kanan hilir Batang Masang sampai ke Aur Bungo Pasang, dari Aur Bungo Pasang ke Muaro Batang Bunut, dari Muaro Batang Bunut ke Muaro Batang Pinagar”. Penyerahan tanah tersebut dikuatkan dengan syarat, bahwa, “orang-orang transmigran itu adalah sama-sama warga negara yang pada azasnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asli negeri Kinali terhadap Pemerintah dan adat istiadat setempat“. (Kutipan dokumen kerapatan Adat Nagari Kinali No. 01/KANK/1961 tgl. 26 September 1961, di atas meterai Rp. 3,- 1953). Bahkan Gubernur Sumatera Barat menguatkan, “”Orang-orang transmigran diwajibkan mentaati segala peraturan umum dan daerah serta adat-istiadat setempat.” (Kutipan dokumen pernyataan Gubernur KDH Prop. Sumatera Barat tgl. 30 Sept. 1961 No. 62/Trm/GSB/1961 dari salinan M.J. Jang Dipertuan).
Di tahun 1973, di tepi Sungai Sampur Panti, di atas tanah ulayat yang diserahkan oleh Ninik Mamak Panti kepada pendatang Tapanuli yang pada mula mengaku beragama Islam, ternyata terdapat 50 buah rumah jemaat kristiani, yang memberi nama kampung tersebut dengan Kampung Masehi. Akhirnya misionaris ini yang menjadikan duri dalam daging dalam kerukunan bersama akibatnya dirasa pada kemajemukan, menjadi hambar dan terganggu.————-

Dalam mempertahankan hak kebenaran, lelaki Minang wajib menampilkan jati dirinya (mampaliekkan tando laki-laki), tidak takut menentang bahaya, terbujur lalu, terbelintang patah, kewajiban asasi tidak bisa dilalaikan.
”Tanamo anak laki-laki, sabalun aja ba pantang mati, baribu cobaan mandatang, namun mati hanyo sakali.”
Ternama anak laki-laki, sebelum ajal berpantang mati, walau beribu cobaan datang menjelang, namun mati hanya sekali.
Ada keteguhan keyakinan dalam satu tata cara hidup “adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah”, yang sesuai dengan munasabah kejadian manusia yang universil. Sikap ini dipunyai Imam Bonjol yang namanya diwarisi oleh IAIN tempat kita berkumpul kini.
Ketika kasus Wawah , Minangkabau kembali diguncang beredar Injil Berbahasa Minang di Pasaman dan Kinali.
—————- (Beberapa catatan tentang kasus Wawah yang pada mulanya berkedok pelecehan susila, berujung pindah agama, atas seorang putri muslimah KHAIRIYAH ENNISWAH alias Wawah, lahir di Bengkulu tanggal 13 Februari 1981. Kasus ini menyangkut pelaku-pelaku YANUARDI KOTO asal suku KOTO LUBUK BASUNG Kabupaten AGAM Sumatera Barat, beragama Kristen Protestan, pekerjaan Penginjil, berpendidikan Sekolah Tinggi Theologi Injil Indonesia Yogyakarta yang dibantu oleh beberapa orang lainnya. Wawah dimasukkan ke SMU Kalam Kudus Padang dengan memalsukan ijazah Tsanawiyah menjadi Ijazah SMP. Perkara ini diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Padang pada Maret hingga Agustus 1999. Kejadian ini mencabik kehormatan gadis Muslimah Khairiyah (Wawah), pemindahan agama secara tidak rela, dalam lingkungan adat istiadat yang bersendi syarak, namun pihak luar negeri menuduh Sumatera Barat dan Pemerintah Indonesia telah melanggar hak asasi orang kristiani di Minangkabau. Inilah satu diantara banyak kasus yang perlu diawasi amat hati-hati oleh kemajemukan dan keumatan.) ——————————————-
Peristiwa ini, telah merusak tali kemajemukan (pluralitas) oleh riak proselytisme yang sulit berhenti, kadang-kadang wajahnya kebebasan dan demokratisasi, bahkan dapat bermantel hak asasi dan reformasi serta penyesuaian globalisasi.
————-(Contoh kasus rusaknya kerukunan beragama dalam kaitan kemajemukan (pluralitas) karena kasus proselytisme. Pada tahun 1997, Ranah Minang dikejutkan dengan beredarnya Injil Berbahasa Minang yang diterbitkan oleh Lembaga Al Kitab Jakarta. Ketika itu, para ulama pemuka masyarakat masih mampu meredam suasana. Walaupun ketika itu, di beberapa daerah di tanah air sedang dilanda kemelut besar, seperti peristiwa Situbondo, dan lainnya. Kepekaan pluralitas (kemajemukan) yang dipunya pemuka agama di Sumatera Barat — Dewan Da’wah bersama Majlis Ulama Sumatera Barat (Ahmadillah, Sekretaris) dan Kanwil Departemen Agama Sumatera Barat (Adly Etek) — ketika itu (Januari 1997), meminta kepada Komandan Korem 032 Wirabraja dan Pemda Sumatera Barat, agar menarik Injil dimaksud dari peredaran, sehingga keamanan dan ketenteraman umat dapat dijaga dalam kemajemukan. Ini dilakukan demi masyarakat tidak menjadi heboh. Akhirnya bersama-sama dengan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Injil Berbahasa Minang dapat ditarik dan disita (kemudian diketahui, jumlahnya lebih dari 7000 buah).——————————-
Ada satu pepatah mengatakan : “Sesuatu yang bathil bila teratur rapi, bisa mengalahkan yang hak, tapi centang perenang”.
Baiklah bagian ini mendapat perhatian secara khusus.
Kita sama-sama sadarilah, sebenarnya kita sedang berlomba dalam masyarakat majemuk “dalam menegakkan kebajikan”.
Memang itulah fungsi Umat dalam masyarakat yang “pluralistik”.
Tunjukkan kehadiran kita dengan amal.
Kita semua manusia, yang tidak ma’shum dari kekeliruan.
Sambil jalan perbaiki.
Kita surut, dimana terlanjur.
Kita perkembang, mana yang baik.
Kita perbarui niat semula.
Ini arti hakiki sikap menghormati kemajemukan itu.
Jangan jadi bahan cimee-eh orang lain.
Jangan jadi penonton di tengah jalan, melihat orang lalu, sambil memangku tangan.
Walau lidah sudah kaku, terus bicara dengan amal baik untuk umat banyak.
Amal yang baik itu jauh lebih fasih dari pada lidah.
Ini fungsi kita umat Islam.
“ Kamu hidup di atas bumi di tengah-tengah persimpang-siuran dari pada agama, kepercayaan dan persimpangan dari pada ideologi dan cita-cita.
Semuanya mencapai tujuan masing-masing pula.”
Maka wajib ada sikap hidup saling menghormati.
Di tengah dunia yang pecah belah dibalut pemaksaan kehendak dengan penyebaran faham dan wabah nafsu kebendaaan yang membutatulikan kemanusiaan, ikut menyeret manusia menuju malapetaka besar kemanusiaan.
Ketika itu, buktikan bahwa umat Islam memegang amanat menjunjung tinggi kehidupan beragama, dan pandai hidup dalam masyarakat majemuk.
“ …. dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,” (QS.22, al Hajj : 40).
Dalam keadaan demikian itu jangan lari dari persimpangansiuran itu.
Janganlah uzlah menyendiri.
Tetaplah berada di tengah-tengah persimpangsiuran itu.
Menjaga kemajemukan dengan berlomba-lomba bersama umat-umat dunia untuk kebajikan sebagai tujuan hidup dari seorang Muslim.
Tunjukkan identitas selaku seorang Muslim.
Berlomba menanam benih kebaikan.
Dan kalau itu sudah dijalankan, jangan pula be-riya atau takabur, dan bergagah diri.
Semua amalan itu hanya untuk dipersembahkan pada Illahi, moga diterima Allah SWT.
Karya amalan baik itu diberikan kepada sesama manusia tanpa diskriminasi, tanpa pilih suku, agama, dll.
Umat Islam mesti memiliki sikap lapang dada – hilm –, pemaaf, toleransi dan penyayang
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمُ اللهُ مَنْ فِي السّمَاءِ (رواه أبو داود)
Orang-orang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang, maka sayangilah penduduk bumi agar yang di langit ikut pula menyayangimu. (HR.Abu Daud)
Kalau diterjemahkan kedalam perilaku keseharian umat di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat (Minangkabau), mestinya hidup dengan peribadi memuliakan sesama, karena kokohnya iman yang dipunyai serta adat yang dipakai.
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، اَلْمُوَطِؤُوْنَ أَكْنَافًا، اَلَّذِيْنَ يَأَلْفُوْنَ و يُؤْلَفُوْنَ (رواه الطبراني و أبو نعيم)
Iman orang-orang Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya, lembut perangainya, bersikap ramah dan disukai pergaulannya (HR.Thabrani). HR.Thabrani di dalam al Ausath dan Abu Nu’aim dari Ibnu Sa’ad. Albani menghasankan di dalam Shahih al Jami’ as-Shaghir.

Bagi umat Islam, sudah jelas benar, hal ini diulang-ulang berkali-kali dan diperingatkan oleh Allah SWT, bahwa upaya proselytisme itu akan selalu ada, maka umat Islam mesti hati-hati.
Seperti tegas disebutkan dalam Surat al-Baqarah : 109.
” Sebahagian besar ahli kitab menginginkan, agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.2, Al-Baqarah : 109).
Atau juga dalam surat Al-Baqarah 120.
Namun ironisnya, ketika ulama Islam mengingatkan umatnya makna ayat ini dengan menyuruh umat berhati-hati serta membentengi akidah keluarga dan generasinya, berperilaku sesuai ajaran Islam, berkawin-mawin serta beradab-sopan, atau berbusana pakaian Islami, serta merta ditimpakan pernilaian tidak punya kepekaan atas kemajemukan, bahkan anti pluralitas atau radikal. Memang, Ironis sekali.
Padahal, umat Islam berkewajiban memelihara hubungan horizontal, memelihara solidaritas sesama atas dasar, bahwa seluruh manusia adalah kelauarga Allah, dan paling disayangNya, adalah yang paling bermanfaat sesama hamba-hamba itu.
Setiap diri wajib memelihara serta mempertahankan damai dan menyelesaikan setiap perselisihan secara damai pula.
Umat Islam menyadari sepenuhnya, bahwa mereka mempunyai tugas pendukung risalah dalam mewujudkan kemashalahatan umat banyak.
Maka, tidak boleh salah dalam mendasarkan sikap.
Umat Islam telah dijadikan sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan), yang berkewajiban terhadap persaudaraan dunia serta kemanusiaan. Umat Islam memiliki kewajiban terlebih dahulu untuk menciptakannya dengan memulai dari diri sendiri. Kewajiban mesti harus lebih dahulu ditunaikan sebelum hak menjadi tuntutan.
Kewajiban kita ialah, masing-masing kita, tanpa kecuali, benar-benar memelihara diri dan keluarga kita daripada terjerumus dalam kekufuran. Sebagaimana peringatan Ilahi ;
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.66, At-Tahrim : 6).
Memelihara identitas masing-masing dengan ketaatan adalah ikatan kuat bagi sikap kemajemukan itu.
Tiap-tiap rumah tangga harus menjadi benteng akidah dan keyakinan masing-masing individu.
Agama Islam sangat menekankan adanya budi pekerti.
Agama Islam memberikan semangat persaudaraan kepada semua manusia, yang menjadi syarat untuk menghindar dari kenistaan pertentangan paham-paham yang telah menimbulkan kesulitan-kesulitan yang berbahaya.
Solusi Islam adalah kesadaran bahwa persatuan dan persaudaraan adalah karunia Allah, atas dasar “kalimatin sawa” atau kata persamaan, yakni kemestian menyusun lapis umat dengan tertib membangun perilaku saling menghargai dengan pengertian, melalui cara mendidik sifat, menyusun perpaduan dan mengembangkan cita-cita Islam sebagai tata cara hidup, sesuai akhlaq umat yang rahmatan lil-‘alamin.
Tanpa rasa hormat, kemajemukan hanya sebuah istilah. Penindasan hak-hak asasi, akan merusak kesatuan bangsa dengan bermacam-macam agama (multi religi) ini.
“ Katakanlah: “Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.(QS.3, Ali Imran : 64).
Intisarinya ialah supaya “agama yang satu jangan menjadikan agama lain menjadi sasarannya.”
Artinya, seluruh masyarakat Indonesia yang beraneka agama ini, sama-sama saling tenggang rasa dan hormat menghormati satu sama lain. Keyakinan agama tidak dapat dilepas dari tatakrama satu masyarakat yang sudah diterima turun temurun.
Umat Islam memang cukup diberi perbekalan oleh agamanya, agar pandai-pandai menempatkan diri dalam satu masyarakat, dimana ada bermacam aliran agama:
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. 2, Al-Baqarah : 147).
“Allah tidak melarang kamu berbuat dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama, dan (orang-orang) yang tidak mengusir kamu keluar dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang yang berlaku adil “. (QS. Al-Mutahanah 8).
“ Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah 9).
RINGKASNYA:
1. Harus ditanamkan kesadaran mendalam bahwa bumi Allah ini diisi oleh bermacam-macam aliran keyakinan, paham, dan agama. Karena itu, berpedoman dengan ayat diatas, umat Islam tidak dibenarkan menyisihkan diri dari masyarakat campuran itu, malah umat Islam mesti berkecimpung didalamnya dengan berlomba-lomba menegakkan kebajikan untuk umat manusia tanpa diskriminasi.
2. Sekedar berbeda agama tidak menghalangi umat Islam ini untuk berbaik budi dan hidup rukun dengan sesama manusia yang bukan beragama Islam. Akan tetapi kita tak bisa bertepuk sebelah tangan. Yang tidak bisa dipersahabati oleh umat Islam ini hanyalah mereka yang memusuhi agama Islam itu, dan yang berkeinginan kuat untuk mengubah aqidah dan identitas Islam itu.
3. Yang perlu dijaga oleh setiap generasi Islam, adalah janganlah menganggap orang Islam ini sekalipun larat-melarat dan masih dhuafak dalam materi ataupun intelektualnya, jangan dianggap sebagai animis yang perlu pula dipindah-alihkan keyakinan mereka terlebih dahulu untuk “mempercepat proses development”.
4. Mari kita kembali kepada “kalimatan sawaa’ “, tentunya tidak akan ada diantara kita yang mau meninggalkan penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa. Ketahuilah, bahwa umat Islam sudah berkeyakinan dengan agama Risalah ini. Untuk itu, umat Islam diwajibkan berpegang teguh hanya kepada tali Allah. Maka jangan diganggu identitas yang sudah ada, baik dalam adat, maupun keyakinan. Agar jangan terjadi, akibat menompangnya “riak proselytisme dengan gelombang globalisasi”, akhirnya ombak menghempas di tengah lautan, sebelum mencapai pantai harapan. Badai datang dan bencanapun tiba.
Umat Islam berkewajiban menolak pemahaman serta tunduk kepada adanya permusuhan antara golongan dalam masyarakat yang terkam menerkam serta terlepas dari tali Allah.
Na’uzubillahi min zhalik! 

Apa Arti Kehidupan Ini?

Sebagian orang mungkin bertanya; apa arti kehidupan ini? Kalau kita cermati akan banyak sekali jawaban untuk satu pertanyaan ini. Sebagian menjawab, bahwa kehidupan adalah uang. Sehingga setiap detik hidup ini yang dicari adalah uang. Artinya apabila dia tidak memiliki uang, seolah-olah kehidupannya telah hilang. Sebagian lagi menjawab, bahwa kehidupan adalah kedudukan. Sehingga setiap detik yang dicari adalah kedudukan. Sebagian lagi memandang bahwa kehidupan adalah kesempatan untuk bersenang-senang. Maka bagi golongan ini kesenangan duniawi adalah tujuan utama yang dicari-cari.
Saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kehidupan ini adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga untuk kita. Jangan sampai kita sia-siakan kehidupan di dunia ini untuk sesuatu yang tidak jelas dan akan sirna. Kenikmatan dunia ini pun kalau mau kita pikirkan dengan baik, maka tidaklah lama. Sebentar saja, bukankah demikian? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seolah-olah tatkala  melihat hari kiamat itu, mereka tidaklah hidup (di dunia) kecuali hanya sesaat saja di waktu siang atau sesaat di waktu dhuha.” (QS. an-Nazi’at: 46)
Lalu apa yang harus kita lakukan di dunia ini? Sebuah pertanyaan menarik. Sebuah pertanyaan yang akan kita temukan jawabannya di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Jangan salah paham dulu… Jangan dikira bahwa itu artinya setiap detik kita harus berada di masjid, atau setiap detik kita harus membaca al-Qur’an, atau setiap hari kita harus berpuasa, sama sekali bukan demikian… Ibadah, mencakup segala ucapan dan perbuatan yang dicintai oleh Allah. Allah tidak menghendaki kita setiap detik berada di masjid. Allah juga tidak menghendaki kita setiap detik membaca al-Qur’an. Semua ibadah itu ada waktunya. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan apa yang Allah cintai bagaimana pun keadaan kita dan di mana pun kita berada.
Di antara perkara yang dituntut pada diri kita adalah senantiasa mengingat Allah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang banyak berdzikir dan mengingat Allah dalam segala kondisi. Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apa yang akan terjadi pada seekor ikan jika ia dikeluarkan dari air?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengatakan, “Perumpamaan orang yang mengingat Allah dengan orang yang tidak mengingat Allah adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Dengan mengingat Allah, maka kita akan berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Karena Allah senantiasa mengawasi kita dan mengetahui apa yang kita ucapkan, apa yang kita lakukan, di mana pun dan kapan pun. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya perkara sekecil apapun. Inilah yang semestinya senantiasa kita tanamkan di dalam hati kita. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberpesan, “Bertakwalah kepada Allah dimana pun kamu berada.” (HR. Tirmidzi). Kita harus bertakwa kepada Allah baik ketika berada di rumah, di jalan, di kampus, di pasar atau di mana pun kita berada, ketika bersama orang maupun ketika bersendirian.
Menjadi orang yang bertakwa itu bagaimana? Saudaraku -semoga Allah menunjuki kita- ketakwaan itu akan diraih manakala kita senantiasa mengingat adanya hari pembalasan dan bersiap-siap untuk menghadapinya dengan menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu bahwa takwa adalah, “Rasa takut kepada Allah, beramal dengan wahyu yang diturunkan, dan bersiap-siap menyambut hari kiamat.” Allahu a’lam.

Apakah arti hidup dan tujuan hidup manusia?

1. Kata pengantar dari tujuan-tujuan hidup atau arti hidup

Kerap kali kita mendengar pertanyaan klise tentang ‘Apa arti dari hidup?’ atau ‘Apakah tujuan hidup itu?’ atau ‘Kenapa kita dilahirkan? Dalam kebanyakan kasus, kita memiliki agenda masing-masing tentang apa yang menjadi tujuan-tujuan dalam hidup kita. Namun dari sudut pandang spiritual, terdapat dua alasan dasar tentang mengapa kita dilahirkan. Alasan-alasan inilah yang mendefinisikan tujuan hidup kita yang paling mendasar. Tujuan-tujuan ini adalah:
  • Untuk menyelesaikan akun/ perhitungan-perhitungan memberi-dan-menerima (give-and-take account/ Karma) yang kita miliki dengan berbagai orang.
  • Untuk membuat kemajuan spiritual dengan tujuan akhir bersatu dengan Tuhan dan dengan demikian keluar dari siklus kelahiran dan kematian.

2. Menyelesaikan akun memberi-dan-menerima (karma) kita

Dalam kehidupan-kehidupan, kita mengakumulasi banyak akun-akun memberi-dan-menerima yang merupakan hasil langsung dari perbuatan dan tindakan kita. Akun-akun tersebut mungkin berupa positif atau negatif, tergantung sifat positif-negatif dari tindakan-tindakan kita tersebut. Pada hakekatnya, dalam era/ kurun saat ini sektiar 65% dari kehidupan kita telah ditakdirkan (tidak berada dalam kendali kita) dan 35% dari kehidupan kita diatur oleh kehendak bebas kita sendiri. Semua peristiwa-peristiwa besar dalam hidup kita telah ditakdirkan. Peristiwa-peristiwa ini termasuk kelahiran kita, keluarga di mana kita dilahirkan, orang yang kita nikahi, anak-anak yang kita miliki, penyakit serius dan waktu kematian kita. Kebahagiaan dan rasa sakit yang kita berikan dan terima dari orang-orang yang kita cintai dan kenali merupakan bentuk sederhana dari kasus akun-akun memberi-dan-menerima sebelumnya yang mengarahkan bagaimana hubungan-hubungan antar sesama terungkap.
 
 
Bagaimanapun, takdir kita dalam kehidupan saat ini hanyalah merupakan sebagian kecil dari akumulasi akun memberi-dan-menerima yang telah kita kumpulkan dalam banyak kehidupan
Dalam kehidupan kita, sembari kita menyelesaikan akun memberi-dan-menerima serta takdir yang diperuntukkan kehidupan tertentu kita, pada saat yang sama kita juga akhirnya membuat lebih banyak akun-akun dengan betindak/ berkehendak bebas. Hal ini pada akhirnya ditambahkan ke dalam keseluruhan akun memberi-dan-menerima, yang dikenal sebagai akun akumulasi. Sebagai hasilnya, kita harus terlahir kembali untuk melunasi akun-akun memberi-dan-menerima lebih lanjut dan terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian.
Lihat ke artikel tentang ‘Pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian’ karena ini menjelaskan bagaimana kita terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian.

3. Membuat kemajuan spiritual (tujuan hidup atau arti hidup sesungguhnya)

Puncaknya dalam perkembangan spiritual di semua Jalan Spiritual adalah menyatu dengan Tuhan. ‘Menyatu' dengan Tuhan berarti mengalami Kesadaran Tuhan di dalam diri kita dan di sekitar kita serta tidak mengidentifikasi diri dengan ke lima indera, pikiran dan intelek. Penyatuan ini terjadi pada tingkat pencapaian spiritual 100%. Kebanyakan orang di dunia saat ini berada pada tingkat spiritual 20-25% dan segan dalam melakukan suatu praktik spiritual untuk mengembangkan spiritualnya. Mereka juga mengidentifikasikan diri mereka dengan ke 5 indera, pikiran dan intelek. Hal ini tercermin dalam kehidupan kita dimana fokus utama kita terletak pada penampilan kita atau bersikap sombong tentang kepintaran atau kesuksesan kita.
Dengan melakukan praktik spiritual, ketika kita tumbuh ke tingkat pencapaian spiritual 80%, kita terbebas dari siklus kehidupan dan kematian. Setelah tingkat pencapaian spiritual ini, kita dapat melunasi apapun yang tersisa dari akun-akun memberi-dan-menerima kita, dari alam-alam non-fisik/ halus Mahārlok ke atas. Namun terkadang, orang-orang di atas tingkat pencapaian spiritual 80% bisa saja memilih untuk dilahirkan di Bumi untuk membimbing umat manusia dalam Spiritualitas.
Pertumbuhan spiritual hanya mungkin terjadi melalui praktik spiritual yang sesuai dengan ke enam prinsip-prinsip dasar dari praktik spiritual. Jalan-jalan spiritual yang tidak sesuai dengan keenam prinsip-prinsip dasar dari praktik spiritual menyebabkan stagnasi dalam pertumbuhan spiritual seorang individu.
Lihat ke artikel tentang Pentingnya planet Bumi untuk bisa melalukan praktik spiritual dibandingkan dengan alam-alam spiritual lainnya seperti surga dan neraka.

4. Apa yang dimaksud dalam hal ini mengenai tujuan hidup/ arti hidup kita?

Sebagian besar dari kita memiliki tujuan hidup/ arti hidup masing-masing. Tujuan – tujuan hidup ini mungkin menjadi seorang dokter, menjadi kaya dan terkenal atau mewakili Negara dalam bidang tertentu. Apapun tujuannya, bagi sebagian besar dari kita, lebih banyak tujuan tersebut lebih dominan keduniawiannya. Sistem-sistem pendidikan kita yang ada telah tertata untuk membantu kita mengejar tujuan-tujuan duniawi itu. Sebagai orang tua kita juga menanamkan tujuan hidup duniawi yang sama pada anak-anak kita dengan mendorong mereka untuk belajar dan masuk dalam profesi-profesi yang memberikan mereka manfaat keuangan lebih banyak dibandingkan dengan profesi kita sendiri.
Seseorang mungkin bertanya, “Bagaimanakah memiliki tujuan – tujuan hidup duniawi ini bisa sejalan dengan tujuan hidup spiritual dan alasan untuk kelahiran kita di Bumi?”
Jawabannya cukup sederhana. Kita berjuang untuk tujuan-tujuan duniawi terutama untuk mencari kepuasan dan kebahagiaan. Upaya untuk mencapai ‘kebahagiaan puncak dan kekal’ tersebut pada hakekatnya merupakan apa yang mendorong semua tindakan kita. Namun, setelah kita mencapai tujuan-tujuan duniawi kita, kebahagiaan dan kepuasaan yang dihasilkan hanya bertahan sebentar/ singkat, kemudian kita mengejar mimpi selanjutnya untuk diraih.
‘Kebahagiaan yang puncak dan kekal’ hanya dapat dicapai melalui praktik spiritual yang sesuai dengan ke enam prinsip-prinsip dasar dari praktik spiritual. Wujud kebahagiaan tertinggi yaitu Bliss (Kebahagiaan abadi) merupakan aspek dari Tuhan. Ketika kita bersatu denganNya, kita pun merasakan Bliss yang terus menerus.
Ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan apa yang kita lakukan dan hanya fokus pada praktik spiritual. Apa yang dimaksud adalah hanya dengan melakukan praktik spiritual bersamaan dengan kehidupan duniawi, barulah kita dapat mengalami kebahagiaan yang puncak dan kekal dalam arti sebenarnya. Manfaat-manfaat dari praktik spiritual telah kita diskusikan secara terperinci dalam bab tentang ‘Praktik spiritual untuk kebahagiaan yang kekal
Singkatnya, semakin tujuan – tujuan hidup kita berselaras dengan pesatnya perkembangan spiritual, semakin hidup kita menjadi kaya dan semakin sedikit rasa sakit yang kita alami dari hidup ini. Berikut ini adalah contoh dari bagaimana pandangan dalam tujuan hidup/ arti hidup kita berubah sejalan dengan berkembang dan matangnya kita secara spiritual.

5. Contoh dari bagaimana kehidupan duniawi dapat selaras dengan tujuan-tujuan spiritual

Di SSRF, kami memiliki sejumlah relawan yang melayani Tuhan dengan mempersembahkan waktu dan pengalaman kerja mereka. Contohnya:
  • Salah satu anggota kami adalah seorang konsultan IT dan menjalankan aspek-aspek teknikal dari situs SSRF pada saat waktu luangnya.
  • Salah satu anggota dari tim redaksi adalah seorang psikiater dan membantu dalam memeriksa informasi yang dimuat dalam situs SSRF dari sudut pandang arti medis dan spiritualnya.
  • Anggota SSRF lainnya bepergian ke negara-negara berbeda saat bekerja. Dia mengunakan waktu luangnya untuk memberitahu organisasi-organisasi dengan visi sama di negara itu tentang situs SSRF.
  • Ibu rumah tangga membantu menyiapkan hidangan ringan untuk pertemuan-pertemuan spiritual.
Anggota-anggota dari SSRF telah melihat suatu lompatan perubahan positif dalam kehidupan mereka ketika mereka mengenalkan spiritualitas dalam sepanjang hidup mereka. Salah satu perbedaan utama tersebut adalah peningkatan dalam kebahagiaan dan berkurangnya kesedihan. Walaupun ketika anggota-anggota SSRF menghadapi sebuah situasi yang seharusnya menyakitkan atau traumatis, mereka mendapatkan pengalaman telah terlindungi dari rasa sakit tersebut.

6. Apa yang salah dengan dilahirkan kembali dan kembali?

Terkadang orang bepikir, “Apa yang salah dengan dilahirkan kembali dan kembali?”
Saat kita masuk lebih jauh ke Kaliyuga (Era perselisihan), yaitu era sekarang dari Alam Semesta, sebagian besar kehidupan akan dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan dan rasa sakit. Penelitian spiritual telah menunjukkan bahwa di seluruh dunia, rata-rata manusia hanya merasa bahagia 30% dari waktunya, sedangkan 40% dari waktunya ia merasakan ketidak bahagiaan. Sisa 30% dari waktunya, seseorang tersebut berada dalam kondisi netral di mana ia tidak mengalami kebahagiaan ataupun ketidak bahagiaan. Misalnya, ketika seseorang sedang berjalan di jalan raya atau mengerjakan tugas-tugas duniawi lainnya dll, ia tidak memiliki pemikiran pemikiran bahagia atau tidak bahagia.
Alasan utama untuk hal ini adalah karena kebanyakan orang berada pada tingkat pencapaian spiritual yang lebih rendah. Maka dari itu, keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan kita sering kali memberikan rasa sakit pada orang lain atau meningkatkan raja dan tama dalam lingkungan. Sebagai hasilnya, kita akhirnya mengumpulkan karma negatif atau akun-akun memberi-dan-menerima. Oleh sebab itu untuk sebagian besar umat manusia, kelahiran-kelahiran selanjutnya akan lebih menyakitkan dibandingkan kehidupan saat ini.
Sementara dunia telah membuat langkah-langkah besar dalam kemajuan ekonomi, pengetahuan ilmiah dan teknik, kenyataannya kita lebih miskin dibandingkan generasi-generasi sebelumnya dalam hal kebahagiaan yang merupakan tujuan paling dasar dalam kehidupan kita.
Mengingat bahwa kita semua menginginkan kebahagiaan; faktanya kelahiran kembali dan kehidupan masa depan kita tidak akan memberikan kebahagiaan puncak dan kekal yang kita inginkan. Hanya evolusi spiritual dan bersatu dengan Tuhan akan memberikan kita kebahagiaan yang berkesinambungan dan abadi.

Rabu, 02 April 2014

<iframe src="https://mapsengine.google.com/map/embed?mid=zVuGLDH6SxyI.kr-zdnREh1TY" width="640" height="480"></iframe>