Rabu, 14 Mei 2014

Pesan Rang Gaek ... Jauhilah Fitnah

PLURALITAS
MENGHORMATI IDENTITAS MASING-MASING
ISU-ISU KRITIS DALAM PLURALITAS KEBERAGAMAAN
(PENGALAMAN DALAM MENDAMPINGI UMAT)
OLEH : BUYA H. MAS’OED ABIDIN
“dan tiap-tiap umat ada tujuan (kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…,
di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS.2, al-Baqarah : 148)
Seringkali kalau kita mendengar ”kemajemukan” atau ”pluralitas” terganggu karena ”isyu-isyu pengembangan agama”.
Umat Islam yang berada di lapangan, di kota-kota, ataupun di desa-desa, di pinggir-pinggir pantai ataupun di kaki-kaki gunung, bukan saja mengetahui, akan tetapi ikut merasakan bagaimana meningkatnya upaya pengubahan keyakinan agama itu, walau sudah dianut mereka secara turun temurun.
Ekspansi misionaris – misalnya –, tidak semata diarahkan ke”suku terasing” yang belum beragama saja.
Tapi meningkat juga diarahkan kedaerah-daerah yang menjadi pusat kebudayaan Islam – sejak lama –, seperti Aceh, Mandailing, Minangkabau, Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi, Amuntai, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sambas, Kalimantan Barat dan lain-lain, meningkat juga ekspansi itu, sebagai bagian aksi proselytisme (kegiatan menyebarkan agama) terhadap umat yang sudah beragama untuk berpindah kepada agama tertentu, dan kadang-kadang dilakukan dengan bermacam-macam cara.
Coraknya dapat bermacam.
Hakekatnya sama, ”Riak proselytisme menumpang dengan gelombang globalisasi, liberalisasi dan hak asasi”.
Riak-riak ini, merusak kemajemukan dalam tata bermasyarakat pluralis itu.
Kemajemukan dalam bermasyarakat menjadi sulit dikembangkan, ketika tidak ada sikap menghormati identitas dan keyakinan masing-masing.
Penyeragaman keyakinan akan merampas hak asasi manusia yang hakiki.
Pluralitas akan tumbuh subur diatas lahan menghormati asas universalitas ajaran agama dengan sikap keberagamaan yang luhur.
Penyiaran agama tidak dilakukan semberono dan menyinggung perasaan. Kemajemukan akan rusak, jika pengembangan agama tidak menyikapi suasana lingkungan adat kebiasaan dan kesopanan.
Kemajemukan tumbuh subur dalam kehidupan berbagai corak, bila terpupuk rasa percaya mempercayai dan mengindahkan perasaan sesama.
Penyiaran agama mesti mematuhi rambu-rambu, yakni tidak ditujukan kepada yang sudah beragama…
Pluralitas dalam satu kehidupan masyarakat beradat terbina baik, ketika ada kesadaran menjaganya dengan teratur dan cara-cara yang baik pula.
Kesadaran itu lahir karena pengenalan atas sifat dan identitas masyarakat beradat-budaya. Minimal mengenali tingkat sosial masyarakat, tentang keadaan keyakinan dan etnografis pemahaman, serta aspek geografi dan demografi, sejarah dan latar belakang masyarakat, kemudian kondisi sosial-ekonomi dan budaya, adat-istiadat yang berbeda.
Sangat perlu adanya pemahaman, bahwa hakikatnya, setiap tanah ditumbuhi tanaman khas, setiap etnik memiliki adat budaya dan anutan tersendiri juga. Pengetahuan ini amat berguna untuk memperbaiki masyarakat dengan semangat ihsan dan memelihara kemajemukan serta peka dengan sikap pluralitas.
Pergaulan dalam kemajemukan, sebenarnya berasal dari ajaran Agama.
Yang tidak bisa menyayangi sesama manusia tidak akan disayangi oleh Allah. (Muttafaqun- ‘alaih)
Penolakan asas agama, memunculkan pemecahan umat manusia (firaq) dari keterikatan kerjasama (ta’awun), menjadi dua pihak (hitam dan putih, diniyah dan laa diniyah).
Seakan yang satu, disiapkan harus berhadapan langsung dengan yang kedua, dalam satu satuan perang ideologi secara bengis, penuh kecurigaan dan intimidasi.
Pemisahan bagai belah bambu ini, memungkiri segala keutamaan budi manusia.
Menyuburkan pertentangan akan menjauh dari kepentingan bersama dalam satu gemeente collectiviteit atau jamaah agama yang menjadi dasar perhubungan keselarasan hidup manusia.
Kekacauan mengakibatkan pemborosan tenaga, penghamburan harta dan pengorbanan jiwa yang percuma dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Kekacauan juga akan membawa ikhtiar ke jalan buntu dan keruntuhan.
Semestinya umat Islam menolak tiap-tiap usaha dari pihak manapun yang mengakibatkan kelumpuhan negara serta alat-alatnya.
Pluralitas akan selalu ada, ketika terjaga identitas masing-masing. Penyeragaman akan merampas hak asasi.
Pluralitas akan lenyap dikala ada upaya pemaksaan pada tataran pergaulan kehidupan bermasyarakat.
Hilangnya saling menghormati berakibat penderitaan dan kekacauan di seluruh sektor serta berlaku perampasan hak-hak dan hilangnya kepercayaan, lambat laun menjadi semacam perasaan putus asa.
Ketika itu, tampak jelas raut wajah masyarakat hidup diatas puing reruntuhan kebudayaan, karena kehilangan kesadaran dan kearifan.
Masyarakat yang melupakan secara sengaja ajaran Rasul Allah, akan tumbuh menjadi kelompok perusuh. Ajaran Islam adalah kasih sayang.
Sumatera Barat (Minangkabau) umumnya beragama Islam. Mereka paham agamanya. Mereka pelihara prinsip hidup berakidah dan istiqamah. Ada identitas anak Minangkabau, sebagai izzah martabat diri,
” Jikok di anjak urang banda sawah, jikok di aliah urang batu pasupadanan, jikok di ubah urang kato pusako, jikok di anjak urang kato nan bana, Busuangkan dado padek-padek, paliek-kan tando laki-laki, ja-an takuik nyawo malayang, ja-an cameh darah taserak, tabujua lalu tabulintang patah, aso hilang duo tabilang,
Mamangan ini punya arti yang dalam ;
Jika dipindahkan orang bandar (irigasi) sawah,
dialih orang batas sepadanan (batas tanah hak milik),
apabila diubah kata pusaka (adat budaya yang sudah diakui sejak
lama), jika dianjak orang kata yang benar (artinya hilang prinsip
musyawarah dan saling menghargai, atau hilangnya law-enforcment
dan berlaku penjajahan dan penginjakan hak-hak asasi),
maka, “busungkan dada dan perkuat tempat tegak, perlihatkan bahwa
kita memiliki sifat laki-laki — artinya, tidak boleh dianggap remeh
saja –. Jangan takut nyawa melayang, walau beribu cobaan yang
datang, tetaplah berdiri sebagai pembela yang benar.
Jangan cemas darah tertumpah. Terbujur lalu terbelintang patah.
Esa hilang dua terbilang.

Arti yang disimpan mamangan ini dalam sekali.
Di antaranya, “jika dialih orang tanpa hak, bandar sawah, pancang pasupadanan (batas-batas ulayat)”, maknanya jika terjadi perkosaan hak, setiap diri wajib mempertahankan agar tidak disebut zalim.
Begitu pula, bila diubah orang kata pusako (adat istiadat), dan berubah janji kebenaran – seperti Pasaman sejak 1953 misalnya –, adalah menjaga hak identitas keyakinan dan budayanya semata.
————- Sebuah catatan sejarah
Pada tahun 1953, masyarakat Pasaman telah membuktikan kemajemukan bermasyarakat, menerima saudara sebangsa setanah air dari Jawa dan Suriname, yang ditempatkan di Kecamatan Pasaman. Kedatangan mereka diterima penduduk sebagai saudara dalam sesuku, ”berat sepikul ringan akan sejinjing”. Saudara baru itu ditempatan di atas tanah-tanah ulayat penduduk Pasaman tanpa ganti rugi, berdasarkan penyerahan hak tanah ulayat oleh Ninik Mamak nagari bersangkutan dalam istilah adat, “Inggok mancangkam, tabang basitumpu. Dima bumi di pijak di sinan langik di junjung“.. Artinya pendatang (transmigran) itu tunduk pada ketentuan adat-istiadat yang berlaku, dan diterima sebagai anak kemenakan, dalam hukum adat Minangkabau yang beragama Islam (Dokumen 9 Mei 1953).
Sejak tahun 1953 tercatat penyerahan tanah ulayat masyarakat, ”… pada bulan Mei 1953 sebagian Ulayat Tongar Air Gadang, Ulayat Kapar (Padang Lawas), dan 9 Mei 1953 Ulayat Koto Baru (Mahakarya), dan tanah ulayat Desa Baru, untuk transmigrasi dari Suriname di daerah Sungai Beremas. Tahun 1957, Kota Raja, Kenagarian Parit, Sungai Beramas. Tanggal 26 September 1961 penyerahan tanah Ulayat Kinali Bunut Alamanda, Kecamatan Pasaman. Pada 25 April 1964, sebagian Ulayat Kinali Lepau Tempurung, Kecamatan Pasaman. Tahun 1965, Air Runding, Kenagarian Parit Kecamatan Sungai Beramas”. Pasaman adalah daerah yang memelihara kemajemukan dan toleransi besar. Hubungan keakraban berlangsung baik sampai akhir tahun 1956, karena pada 30 November 1957, Kepala Nagari Kapar (Dulah) bersama dengan Pucuk Adat (Daulat Yang Dipertuan) dan Ninik Mamak (Dt. Gampo Alam) yang dikuatkan oleh Alim Ulama (Buya Tuanku Sasak) serta Cerdik Pandai, menolak “permintaan umat Katolik tersebut di dalam lingkungan ulayat (tanah adat) Koto Baru dan Kapar ”.
Sejak setengah abad lalu, orang Pasaman berkata, “Kami segala pemangku adat, alim-ulama, cerdik-pandai tetap tidak setuju, apalagi negeri kami ini dusun, bukanlah kota, kalau di kota kami tidak berkeberatan sedangkan masyarakat transmigrasi sudah menurut adat kami, dan berkorong berkampung – di ulayat kami–.”( Kutipan dokumen Pemda Pasaman tanggal 30-11-1957). Sungguh begitu pedih, masyarakat tidak terhalang menyerahkan tanah ulayat mereka. Pada tanggal 26 September 1961, Kerapatan Adat Nagari Kinali, ditandatangani 27 Ninik Mamak,3 Alim Ulama, 3 Cerdik-pandai mewakili 100 anggota KN atas nama penduduk Nagari Kinali, menyerahkan tanah ulayat untuk penampungan warga pendatang tanpa ganti rugi, dengan batas-batas : ” dari Muara Batang Pinagar ke Pangkalan Bunut , dari Pangkalan Bunut sampai ke Muara Sungai Balai, dari Muara Sungai Balai sampai ke Tanda Batu (sepanjang 1 Km), dari Tanda Batu sampai ke Kampung Barau, dari Kampung Barau ke Kampung Teleng, dari Kampung Teleng, sampai ke Muara Batang Tingkok, dari Muara Batang Tingkok ke Muara Batang Timah, dari Muara Batang Timah Kanan hilir Batang Masang sampai ke Aur Bungo Pasang, dari Aur Bungo Pasang ke Muaro Batang Bunut, dari Muaro Batang Bunut ke Muaro Batang Pinagar”. Penyerahan tanah tersebut dikuatkan dengan syarat, bahwa, “orang-orang transmigran itu adalah sama-sama warga negara yang pada azasnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asli negeri Kinali terhadap Pemerintah dan adat istiadat setempat“. (Kutipan dokumen kerapatan Adat Nagari Kinali No. 01/KANK/1961 tgl. 26 September 1961, di atas meterai Rp. 3,- 1953). Bahkan Gubernur Sumatera Barat menguatkan, “”Orang-orang transmigran diwajibkan mentaati segala peraturan umum dan daerah serta adat-istiadat setempat.” (Kutipan dokumen pernyataan Gubernur KDH Prop. Sumatera Barat tgl. 30 Sept. 1961 No. 62/Trm/GSB/1961 dari salinan M.J. Jang Dipertuan).
Di tahun 1973, di tepi Sungai Sampur Panti, di atas tanah ulayat yang diserahkan oleh Ninik Mamak Panti kepada pendatang Tapanuli yang pada mula mengaku beragama Islam, ternyata terdapat 50 buah rumah jemaat kristiani, yang memberi nama kampung tersebut dengan Kampung Masehi. Akhirnya misionaris ini yang menjadikan duri dalam daging dalam kerukunan bersama akibatnya dirasa pada kemajemukan, menjadi hambar dan terganggu.————-

Dalam mempertahankan hak kebenaran, lelaki Minang wajib menampilkan jati dirinya (mampaliekkan tando laki-laki), tidak takut menentang bahaya, terbujur lalu, terbelintang patah, kewajiban asasi tidak bisa dilalaikan.
”Tanamo anak laki-laki, sabalun aja ba pantang mati, baribu cobaan mandatang, namun mati hanyo sakali.”
Ternama anak laki-laki, sebelum ajal berpantang mati, walau beribu cobaan datang menjelang, namun mati hanya sekali.
Ada keteguhan keyakinan dalam satu tata cara hidup “adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah”, yang sesuai dengan munasabah kejadian manusia yang universil. Sikap ini dipunyai Imam Bonjol yang namanya diwarisi oleh IAIN tempat kita berkumpul kini.
Ketika kasus Wawah , Minangkabau kembali diguncang beredar Injil Berbahasa Minang di Pasaman dan Kinali.
—————- (Beberapa catatan tentang kasus Wawah yang pada mulanya berkedok pelecehan susila, berujung pindah agama, atas seorang putri muslimah KHAIRIYAH ENNISWAH alias Wawah, lahir di Bengkulu tanggal 13 Februari 1981. Kasus ini menyangkut pelaku-pelaku YANUARDI KOTO asal suku KOTO LUBUK BASUNG Kabupaten AGAM Sumatera Barat, beragama Kristen Protestan, pekerjaan Penginjil, berpendidikan Sekolah Tinggi Theologi Injil Indonesia Yogyakarta yang dibantu oleh beberapa orang lainnya. Wawah dimasukkan ke SMU Kalam Kudus Padang dengan memalsukan ijazah Tsanawiyah menjadi Ijazah SMP. Perkara ini diperiksa oleh Kejaksaan Negeri Padang pada Maret hingga Agustus 1999. Kejadian ini mencabik kehormatan gadis Muslimah Khairiyah (Wawah), pemindahan agama secara tidak rela, dalam lingkungan adat istiadat yang bersendi syarak, namun pihak luar negeri menuduh Sumatera Barat dan Pemerintah Indonesia telah melanggar hak asasi orang kristiani di Minangkabau. Inilah satu diantara banyak kasus yang perlu diawasi amat hati-hati oleh kemajemukan dan keumatan.) ——————————————-
Peristiwa ini, telah merusak tali kemajemukan (pluralitas) oleh riak proselytisme yang sulit berhenti, kadang-kadang wajahnya kebebasan dan demokratisasi, bahkan dapat bermantel hak asasi dan reformasi serta penyesuaian globalisasi.
————-(Contoh kasus rusaknya kerukunan beragama dalam kaitan kemajemukan (pluralitas) karena kasus proselytisme. Pada tahun 1997, Ranah Minang dikejutkan dengan beredarnya Injil Berbahasa Minang yang diterbitkan oleh Lembaga Al Kitab Jakarta. Ketika itu, para ulama pemuka masyarakat masih mampu meredam suasana. Walaupun ketika itu, di beberapa daerah di tanah air sedang dilanda kemelut besar, seperti peristiwa Situbondo, dan lainnya. Kepekaan pluralitas (kemajemukan) yang dipunya pemuka agama di Sumatera Barat — Dewan Da’wah bersama Majlis Ulama Sumatera Barat (Ahmadillah, Sekretaris) dan Kanwil Departemen Agama Sumatera Barat (Adly Etek) — ketika itu (Januari 1997), meminta kepada Komandan Korem 032 Wirabraja dan Pemda Sumatera Barat, agar menarik Injil dimaksud dari peredaran, sehingga keamanan dan ketenteraman umat dapat dijaga dalam kemajemukan. Ini dilakukan demi masyarakat tidak menjadi heboh. Akhirnya bersama-sama dengan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Injil Berbahasa Minang dapat ditarik dan disita (kemudian diketahui, jumlahnya lebih dari 7000 buah).——————————-
Ada satu pepatah mengatakan : “Sesuatu yang bathil bila teratur rapi, bisa mengalahkan yang hak, tapi centang perenang”.
Baiklah bagian ini mendapat perhatian secara khusus.
Kita sama-sama sadarilah, sebenarnya kita sedang berlomba dalam masyarakat majemuk “dalam menegakkan kebajikan”.
Memang itulah fungsi Umat dalam masyarakat yang “pluralistik”.
Tunjukkan kehadiran kita dengan amal.
Kita semua manusia, yang tidak ma’shum dari kekeliruan.
Sambil jalan perbaiki.
Kita surut, dimana terlanjur.
Kita perkembang, mana yang baik.
Kita perbarui niat semula.
Ini arti hakiki sikap menghormati kemajemukan itu.
Jangan jadi bahan cimee-eh orang lain.
Jangan jadi penonton di tengah jalan, melihat orang lalu, sambil memangku tangan.
Walau lidah sudah kaku, terus bicara dengan amal baik untuk umat banyak.
Amal yang baik itu jauh lebih fasih dari pada lidah.
Ini fungsi kita umat Islam.
“ Kamu hidup di atas bumi di tengah-tengah persimpang-siuran dari pada agama, kepercayaan dan persimpangan dari pada ideologi dan cita-cita.
Semuanya mencapai tujuan masing-masing pula.”
Maka wajib ada sikap hidup saling menghormati.
Di tengah dunia yang pecah belah dibalut pemaksaan kehendak dengan penyebaran faham dan wabah nafsu kebendaaan yang membutatulikan kemanusiaan, ikut menyeret manusia menuju malapetaka besar kemanusiaan.
Ketika itu, buktikan bahwa umat Islam memegang amanat menjunjung tinggi kehidupan beragama, dan pandai hidup dalam masyarakat majemuk.
“ …. dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,” (QS.22, al Hajj : 40).
Dalam keadaan demikian itu jangan lari dari persimpangansiuran itu.
Janganlah uzlah menyendiri.
Tetaplah berada di tengah-tengah persimpangsiuran itu.
Menjaga kemajemukan dengan berlomba-lomba bersama umat-umat dunia untuk kebajikan sebagai tujuan hidup dari seorang Muslim.
Tunjukkan identitas selaku seorang Muslim.
Berlomba menanam benih kebaikan.
Dan kalau itu sudah dijalankan, jangan pula be-riya atau takabur, dan bergagah diri.
Semua amalan itu hanya untuk dipersembahkan pada Illahi, moga diterima Allah SWT.
Karya amalan baik itu diberikan kepada sesama manusia tanpa diskriminasi, tanpa pilih suku, agama, dll.
Umat Islam mesti memiliki sikap lapang dada – hilm –, pemaaf, toleransi dan penyayang
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمُ اللهُ مَنْ فِي السّمَاءِ (رواه أبو داود)
Orang-orang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang, maka sayangilah penduduk bumi agar yang di langit ikut pula menyayangimu. (HR.Abu Daud)
Kalau diterjemahkan kedalam perilaku keseharian umat di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat (Minangkabau), mestinya hidup dengan peribadi memuliakan sesama, karena kokohnya iman yang dipunyai serta adat yang dipakai.
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، اَلْمُوَطِؤُوْنَ أَكْنَافًا، اَلَّذِيْنَ يَأَلْفُوْنَ و يُؤْلَفُوْنَ (رواه الطبراني و أبو نعيم)
Iman orang-orang Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya, lembut perangainya, bersikap ramah dan disukai pergaulannya (HR.Thabrani). HR.Thabrani di dalam al Ausath dan Abu Nu’aim dari Ibnu Sa’ad. Albani menghasankan di dalam Shahih al Jami’ as-Shaghir.

Bagi umat Islam, sudah jelas benar, hal ini diulang-ulang berkali-kali dan diperingatkan oleh Allah SWT, bahwa upaya proselytisme itu akan selalu ada, maka umat Islam mesti hati-hati.
Seperti tegas disebutkan dalam Surat al-Baqarah : 109.
” Sebahagian besar ahli kitab menginginkan, agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.2, Al-Baqarah : 109).
Atau juga dalam surat Al-Baqarah 120.
Namun ironisnya, ketika ulama Islam mengingatkan umatnya makna ayat ini dengan menyuruh umat berhati-hati serta membentengi akidah keluarga dan generasinya, berperilaku sesuai ajaran Islam, berkawin-mawin serta beradab-sopan, atau berbusana pakaian Islami, serta merta ditimpakan pernilaian tidak punya kepekaan atas kemajemukan, bahkan anti pluralitas atau radikal. Memang, Ironis sekali.
Padahal, umat Islam berkewajiban memelihara hubungan horizontal, memelihara solidaritas sesama atas dasar, bahwa seluruh manusia adalah kelauarga Allah, dan paling disayangNya, adalah yang paling bermanfaat sesama hamba-hamba itu.
Setiap diri wajib memelihara serta mempertahankan damai dan menyelesaikan setiap perselisihan secara damai pula.
Umat Islam menyadari sepenuhnya, bahwa mereka mempunyai tugas pendukung risalah dalam mewujudkan kemashalahatan umat banyak.
Maka, tidak boleh salah dalam mendasarkan sikap.
Umat Islam telah dijadikan sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan), yang berkewajiban terhadap persaudaraan dunia serta kemanusiaan. Umat Islam memiliki kewajiban terlebih dahulu untuk menciptakannya dengan memulai dari diri sendiri. Kewajiban mesti harus lebih dahulu ditunaikan sebelum hak menjadi tuntutan.
Kewajiban kita ialah, masing-masing kita, tanpa kecuali, benar-benar memelihara diri dan keluarga kita daripada terjerumus dalam kekufuran. Sebagaimana peringatan Ilahi ;
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.66, At-Tahrim : 6).
Memelihara identitas masing-masing dengan ketaatan adalah ikatan kuat bagi sikap kemajemukan itu.
Tiap-tiap rumah tangga harus menjadi benteng akidah dan keyakinan masing-masing individu.
Agama Islam sangat menekankan adanya budi pekerti.
Agama Islam memberikan semangat persaudaraan kepada semua manusia, yang menjadi syarat untuk menghindar dari kenistaan pertentangan paham-paham yang telah menimbulkan kesulitan-kesulitan yang berbahaya.
Solusi Islam adalah kesadaran bahwa persatuan dan persaudaraan adalah karunia Allah, atas dasar “kalimatin sawa” atau kata persamaan, yakni kemestian menyusun lapis umat dengan tertib membangun perilaku saling menghargai dengan pengertian, melalui cara mendidik sifat, menyusun perpaduan dan mengembangkan cita-cita Islam sebagai tata cara hidup, sesuai akhlaq umat yang rahmatan lil-‘alamin.
Tanpa rasa hormat, kemajemukan hanya sebuah istilah. Penindasan hak-hak asasi, akan merusak kesatuan bangsa dengan bermacam-macam agama (multi religi) ini.
“ Katakanlah: “Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.(QS.3, Ali Imran : 64).
Intisarinya ialah supaya “agama yang satu jangan menjadikan agama lain menjadi sasarannya.”
Artinya, seluruh masyarakat Indonesia yang beraneka agama ini, sama-sama saling tenggang rasa dan hormat menghormati satu sama lain. Keyakinan agama tidak dapat dilepas dari tatakrama satu masyarakat yang sudah diterima turun temurun.
Umat Islam memang cukup diberi perbekalan oleh agamanya, agar pandai-pandai menempatkan diri dalam satu masyarakat, dimana ada bermacam aliran agama:
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. 2, Al-Baqarah : 147).
“Allah tidak melarang kamu berbuat dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama, dan (orang-orang) yang tidak mengusir kamu keluar dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang yang berlaku adil “. (QS. Al-Mutahanah 8).
“ Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah 9).
RINGKASNYA:
1. Harus ditanamkan kesadaran mendalam bahwa bumi Allah ini diisi oleh bermacam-macam aliran keyakinan, paham, dan agama. Karena itu, berpedoman dengan ayat diatas, umat Islam tidak dibenarkan menyisihkan diri dari masyarakat campuran itu, malah umat Islam mesti berkecimpung didalamnya dengan berlomba-lomba menegakkan kebajikan untuk umat manusia tanpa diskriminasi.
2. Sekedar berbeda agama tidak menghalangi umat Islam ini untuk berbaik budi dan hidup rukun dengan sesama manusia yang bukan beragama Islam. Akan tetapi kita tak bisa bertepuk sebelah tangan. Yang tidak bisa dipersahabati oleh umat Islam ini hanyalah mereka yang memusuhi agama Islam itu, dan yang berkeinginan kuat untuk mengubah aqidah dan identitas Islam itu.
3. Yang perlu dijaga oleh setiap generasi Islam, adalah janganlah menganggap orang Islam ini sekalipun larat-melarat dan masih dhuafak dalam materi ataupun intelektualnya, jangan dianggap sebagai animis yang perlu pula dipindah-alihkan keyakinan mereka terlebih dahulu untuk “mempercepat proses development”.
4. Mari kita kembali kepada “kalimatan sawaa’ “, tentunya tidak akan ada diantara kita yang mau meninggalkan penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa. Ketahuilah, bahwa umat Islam sudah berkeyakinan dengan agama Risalah ini. Untuk itu, umat Islam diwajibkan berpegang teguh hanya kepada tali Allah. Maka jangan diganggu identitas yang sudah ada, baik dalam adat, maupun keyakinan. Agar jangan terjadi, akibat menompangnya “riak proselytisme dengan gelombang globalisasi”, akhirnya ombak menghempas di tengah lautan, sebelum mencapai pantai harapan. Badai datang dan bencanapun tiba.
Umat Islam berkewajiban menolak pemahaman serta tunduk kepada adanya permusuhan antara golongan dalam masyarakat yang terkam menerkam serta terlepas dari tali Allah.
Na’uzubillahi min zhalik! 

Apa Arti Kehidupan Ini?

Sebagian orang mungkin bertanya; apa arti kehidupan ini? Kalau kita cermati akan banyak sekali jawaban untuk satu pertanyaan ini. Sebagian menjawab, bahwa kehidupan adalah uang. Sehingga setiap detik hidup ini yang dicari adalah uang. Artinya apabila dia tidak memiliki uang, seolah-olah kehidupannya telah hilang. Sebagian lagi menjawab, bahwa kehidupan adalah kedudukan. Sehingga setiap detik yang dicari adalah kedudukan. Sebagian lagi memandang bahwa kehidupan adalah kesempatan untuk bersenang-senang. Maka bagi golongan ini kesenangan duniawi adalah tujuan utama yang dicari-cari.
Saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kehidupan ini adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga untuk kita. Jangan sampai kita sia-siakan kehidupan di dunia ini untuk sesuatu yang tidak jelas dan akan sirna. Kenikmatan dunia ini pun kalau mau kita pikirkan dengan baik, maka tidaklah lama. Sebentar saja, bukankah demikian? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seolah-olah tatkala  melihat hari kiamat itu, mereka tidaklah hidup (di dunia) kecuali hanya sesaat saja di waktu siang atau sesaat di waktu dhuha.” (QS. an-Nazi’at: 46)
Lalu apa yang harus kita lakukan di dunia ini? Sebuah pertanyaan menarik. Sebuah pertanyaan yang akan kita temukan jawabannya di dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Jangan salah paham dulu… Jangan dikira bahwa itu artinya setiap detik kita harus berada di masjid, atau setiap detik kita harus membaca al-Qur’an, atau setiap hari kita harus berpuasa, sama sekali bukan demikian… Ibadah, mencakup segala ucapan dan perbuatan yang dicintai oleh Allah. Allah tidak menghendaki kita setiap detik berada di masjid. Allah juga tidak menghendaki kita setiap detik membaca al-Qur’an. Semua ibadah itu ada waktunya. Yang terpenting bagi kita adalah melakukan apa yang Allah cintai bagaimana pun keadaan kita dan di mana pun kita berada.
Di antara perkara yang dituntut pada diri kita adalah senantiasa mengingat Allah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang banyak berdzikir dan mengingat Allah dalam segala kondisi. Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apa yang akan terjadi pada seekor ikan jika ia dikeluarkan dari air?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengatakan, “Perumpamaan orang yang mengingat Allah dengan orang yang tidak mengingat Allah adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Dengan mengingat Allah, maka kita akan berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Karena Allah senantiasa mengawasi kita dan mengetahui apa yang kita ucapkan, apa yang kita lakukan, di mana pun dan kapan pun. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya perkara sekecil apapun. Inilah yang semestinya senantiasa kita tanamkan di dalam hati kita. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberpesan, “Bertakwalah kepada Allah dimana pun kamu berada.” (HR. Tirmidzi). Kita harus bertakwa kepada Allah baik ketika berada di rumah, di jalan, di kampus, di pasar atau di mana pun kita berada, ketika bersama orang maupun ketika bersendirian.
Menjadi orang yang bertakwa itu bagaimana? Saudaraku -semoga Allah menunjuki kita- ketakwaan itu akan diraih manakala kita senantiasa mengingat adanya hari pembalasan dan bersiap-siap untuk menghadapinya dengan menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu bahwa takwa adalah, “Rasa takut kepada Allah, beramal dengan wahyu yang diturunkan, dan bersiap-siap menyambut hari kiamat.” Allahu a’lam.

Apakah arti hidup dan tujuan hidup manusia?

1. Kata pengantar dari tujuan-tujuan hidup atau arti hidup

Kerap kali kita mendengar pertanyaan klise tentang ‘Apa arti dari hidup?’ atau ‘Apakah tujuan hidup itu?’ atau ‘Kenapa kita dilahirkan? Dalam kebanyakan kasus, kita memiliki agenda masing-masing tentang apa yang menjadi tujuan-tujuan dalam hidup kita. Namun dari sudut pandang spiritual, terdapat dua alasan dasar tentang mengapa kita dilahirkan. Alasan-alasan inilah yang mendefinisikan tujuan hidup kita yang paling mendasar. Tujuan-tujuan ini adalah:
  • Untuk menyelesaikan akun/ perhitungan-perhitungan memberi-dan-menerima (give-and-take account/ Karma) yang kita miliki dengan berbagai orang.
  • Untuk membuat kemajuan spiritual dengan tujuan akhir bersatu dengan Tuhan dan dengan demikian keluar dari siklus kelahiran dan kematian.

2. Menyelesaikan akun memberi-dan-menerima (karma) kita

Dalam kehidupan-kehidupan, kita mengakumulasi banyak akun-akun memberi-dan-menerima yang merupakan hasil langsung dari perbuatan dan tindakan kita. Akun-akun tersebut mungkin berupa positif atau negatif, tergantung sifat positif-negatif dari tindakan-tindakan kita tersebut. Pada hakekatnya, dalam era/ kurun saat ini sektiar 65% dari kehidupan kita telah ditakdirkan (tidak berada dalam kendali kita) dan 35% dari kehidupan kita diatur oleh kehendak bebas kita sendiri. Semua peristiwa-peristiwa besar dalam hidup kita telah ditakdirkan. Peristiwa-peristiwa ini termasuk kelahiran kita, keluarga di mana kita dilahirkan, orang yang kita nikahi, anak-anak yang kita miliki, penyakit serius dan waktu kematian kita. Kebahagiaan dan rasa sakit yang kita berikan dan terima dari orang-orang yang kita cintai dan kenali merupakan bentuk sederhana dari kasus akun-akun memberi-dan-menerima sebelumnya yang mengarahkan bagaimana hubungan-hubungan antar sesama terungkap.
 
 
Bagaimanapun, takdir kita dalam kehidupan saat ini hanyalah merupakan sebagian kecil dari akumulasi akun memberi-dan-menerima yang telah kita kumpulkan dalam banyak kehidupan
Dalam kehidupan kita, sembari kita menyelesaikan akun memberi-dan-menerima serta takdir yang diperuntukkan kehidupan tertentu kita, pada saat yang sama kita juga akhirnya membuat lebih banyak akun-akun dengan betindak/ berkehendak bebas. Hal ini pada akhirnya ditambahkan ke dalam keseluruhan akun memberi-dan-menerima, yang dikenal sebagai akun akumulasi. Sebagai hasilnya, kita harus terlahir kembali untuk melunasi akun-akun memberi-dan-menerima lebih lanjut dan terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian.
Lihat ke artikel tentang ‘Pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian’ karena ini menjelaskan bagaimana kita terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian.

3. Membuat kemajuan spiritual (tujuan hidup atau arti hidup sesungguhnya)

Puncaknya dalam perkembangan spiritual di semua Jalan Spiritual adalah menyatu dengan Tuhan. ‘Menyatu' dengan Tuhan berarti mengalami Kesadaran Tuhan di dalam diri kita dan di sekitar kita serta tidak mengidentifikasi diri dengan ke lima indera, pikiran dan intelek. Penyatuan ini terjadi pada tingkat pencapaian spiritual 100%. Kebanyakan orang di dunia saat ini berada pada tingkat spiritual 20-25% dan segan dalam melakukan suatu praktik spiritual untuk mengembangkan spiritualnya. Mereka juga mengidentifikasikan diri mereka dengan ke 5 indera, pikiran dan intelek. Hal ini tercermin dalam kehidupan kita dimana fokus utama kita terletak pada penampilan kita atau bersikap sombong tentang kepintaran atau kesuksesan kita.
Dengan melakukan praktik spiritual, ketika kita tumbuh ke tingkat pencapaian spiritual 80%, kita terbebas dari siklus kehidupan dan kematian. Setelah tingkat pencapaian spiritual ini, kita dapat melunasi apapun yang tersisa dari akun-akun memberi-dan-menerima kita, dari alam-alam non-fisik/ halus Mahārlok ke atas. Namun terkadang, orang-orang di atas tingkat pencapaian spiritual 80% bisa saja memilih untuk dilahirkan di Bumi untuk membimbing umat manusia dalam Spiritualitas.
Pertumbuhan spiritual hanya mungkin terjadi melalui praktik spiritual yang sesuai dengan ke enam prinsip-prinsip dasar dari praktik spiritual. Jalan-jalan spiritual yang tidak sesuai dengan keenam prinsip-prinsip dasar dari praktik spiritual menyebabkan stagnasi dalam pertumbuhan spiritual seorang individu.
Lihat ke artikel tentang Pentingnya planet Bumi untuk bisa melalukan praktik spiritual dibandingkan dengan alam-alam spiritual lainnya seperti surga dan neraka.

4. Apa yang dimaksud dalam hal ini mengenai tujuan hidup/ arti hidup kita?

Sebagian besar dari kita memiliki tujuan hidup/ arti hidup masing-masing. Tujuan – tujuan hidup ini mungkin menjadi seorang dokter, menjadi kaya dan terkenal atau mewakili Negara dalam bidang tertentu. Apapun tujuannya, bagi sebagian besar dari kita, lebih banyak tujuan tersebut lebih dominan keduniawiannya. Sistem-sistem pendidikan kita yang ada telah tertata untuk membantu kita mengejar tujuan-tujuan duniawi itu. Sebagai orang tua kita juga menanamkan tujuan hidup duniawi yang sama pada anak-anak kita dengan mendorong mereka untuk belajar dan masuk dalam profesi-profesi yang memberikan mereka manfaat keuangan lebih banyak dibandingkan dengan profesi kita sendiri.
Seseorang mungkin bertanya, “Bagaimanakah memiliki tujuan – tujuan hidup duniawi ini bisa sejalan dengan tujuan hidup spiritual dan alasan untuk kelahiran kita di Bumi?”
Jawabannya cukup sederhana. Kita berjuang untuk tujuan-tujuan duniawi terutama untuk mencari kepuasan dan kebahagiaan. Upaya untuk mencapai ‘kebahagiaan puncak dan kekal’ tersebut pada hakekatnya merupakan apa yang mendorong semua tindakan kita. Namun, setelah kita mencapai tujuan-tujuan duniawi kita, kebahagiaan dan kepuasaan yang dihasilkan hanya bertahan sebentar/ singkat, kemudian kita mengejar mimpi selanjutnya untuk diraih.
‘Kebahagiaan yang puncak dan kekal’ hanya dapat dicapai melalui praktik spiritual yang sesuai dengan ke enam prinsip-prinsip dasar dari praktik spiritual. Wujud kebahagiaan tertinggi yaitu Bliss (Kebahagiaan abadi) merupakan aspek dari Tuhan. Ketika kita bersatu denganNya, kita pun merasakan Bliss yang terus menerus.
Ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan apa yang kita lakukan dan hanya fokus pada praktik spiritual. Apa yang dimaksud adalah hanya dengan melakukan praktik spiritual bersamaan dengan kehidupan duniawi, barulah kita dapat mengalami kebahagiaan yang puncak dan kekal dalam arti sebenarnya. Manfaat-manfaat dari praktik spiritual telah kita diskusikan secara terperinci dalam bab tentang ‘Praktik spiritual untuk kebahagiaan yang kekal
Singkatnya, semakin tujuan – tujuan hidup kita berselaras dengan pesatnya perkembangan spiritual, semakin hidup kita menjadi kaya dan semakin sedikit rasa sakit yang kita alami dari hidup ini. Berikut ini adalah contoh dari bagaimana pandangan dalam tujuan hidup/ arti hidup kita berubah sejalan dengan berkembang dan matangnya kita secara spiritual.

5. Contoh dari bagaimana kehidupan duniawi dapat selaras dengan tujuan-tujuan spiritual

Di SSRF, kami memiliki sejumlah relawan yang melayani Tuhan dengan mempersembahkan waktu dan pengalaman kerja mereka. Contohnya:
  • Salah satu anggota kami adalah seorang konsultan IT dan menjalankan aspek-aspek teknikal dari situs SSRF pada saat waktu luangnya.
  • Salah satu anggota dari tim redaksi adalah seorang psikiater dan membantu dalam memeriksa informasi yang dimuat dalam situs SSRF dari sudut pandang arti medis dan spiritualnya.
  • Anggota SSRF lainnya bepergian ke negara-negara berbeda saat bekerja. Dia mengunakan waktu luangnya untuk memberitahu organisasi-organisasi dengan visi sama di negara itu tentang situs SSRF.
  • Ibu rumah tangga membantu menyiapkan hidangan ringan untuk pertemuan-pertemuan spiritual.
Anggota-anggota dari SSRF telah melihat suatu lompatan perubahan positif dalam kehidupan mereka ketika mereka mengenalkan spiritualitas dalam sepanjang hidup mereka. Salah satu perbedaan utama tersebut adalah peningkatan dalam kebahagiaan dan berkurangnya kesedihan. Walaupun ketika anggota-anggota SSRF menghadapi sebuah situasi yang seharusnya menyakitkan atau traumatis, mereka mendapatkan pengalaman telah terlindungi dari rasa sakit tersebut.

6. Apa yang salah dengan dilahirkan kembali dan kembali?

Terkadang orang bepikir, “Apa yang salah dengan dilahirkan kembali dan kembali?”
Saat kita masuk lebih jauh ke Kaliyuga (Era perselisihan), yaitu era sekarang dari Alam Semesta, sebagian besar kehidupan akan dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan dan rasa sakit. Penelitian spiritual telah menunjukkan bahwa di seluruh dunia, rata-rata manusia hanya merasa bahagia 30% dari waktunya, sedangkan 40% dari waktunya ia merasakan ketidak bahagiaan. Sisa 30% dari waktunya, seseorang tersebut berada dalam kondisi netral di mana ia tidak mengalami kebahagiaan ataupun ketidak bahagiaan. Misalnya, ketika seseorang sedang berjalan di jalan raya atau mengerjakan tugas-tugas duniawi lainnya dll, ia tidak memiliki pemikiran pemikiran bahagia atau tidak bahagia.
Alasan utama untuk hal ini adalah karena kebanyakan orang berada pada tingkat pencapaian spiritual yang lebih rendah. Maka dari itu, keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan kita sering kali memberikan rasa sakit pada orang lain atau meningkatkan raja dan tama dalam lingkungan. Sebagai hasilnya, kita akhirnya mengumpulkan karma negatif atau akun-akun memberi-dan-menerima. Oleh sebab itu untuk sebagian besar umat manusia, kelahiran-kelahiran selanjutnya akan lebih menyakitkan dibandingkan kehidupan saat ini.
Sementara dunia telah membuat langkah-langkah besar dalam kemajuan ekonomi, pengetahuan ilmiah dan teknik, kenyataannya kita lebih miskin dibandingkan generasi-generasi sebelumnya dalam hal kebahagiaan yang merupakan tujuan paling dasar dalam kehidupan kita.
Mengingat bahwa kita semua menginginkan kebahagiaan; faktanya kelahiran kembali dan kehidupan masa depan kita tidak akan memberikan kebahagiaan puncak dan kekal yang kita inginkan. Hanya evolusi spiritual dan bersatu dengan Tuhan akan memberikan kita kebahagiaan yang berkesinambungan dan abadi.