pengantar ~ padusi ~
Artikel ini diambil dari Situs Nagari.or.id, berjudul asli “ Minangkabau sebagai Bit Informasi”. Sangat menarik untuk memahami istilah Minangkabau sesungguhnya. Bahwa istilah yang sebelumnya diriwayatkan oleh Tukang Kaba atau Tambo-tambo sebagai istilah yang berasal dari kemenangan masyarakat minang zaman dahulu dalam pertandingan aduan kerbau. Di era sekarang ini, dimana manusia tidak bisa lagi diajak memhami sesuatu dengan hal yang berbau mithos dan mistik, maka pemahaman istilah minangkabau di era bit informasi sangat perlu disebar luaskan. Untuk memudahkan pemahaman generasi muda maka kami menyadurnya menjadi potongan-potongan artikel dalam postingan blog ini.
sumber : http://nagari.or.id/?moda=minangkabau yang artikel aslinya tersebut sebagai berikut :
Penduduk yang bermukim di nagari Tanjuang Sungayang dan Nagari Minangkabau di dekat nagari Pagaruyuang di Luhak nan Tuo, Tanah Datar, menyebut sumber mata air artesis di tempat mereka dengan sebutan “minang”.
Minang memiliki beberapa pancuran untuk mengalirkan airnya, sedangkan sumur mata air yang lebih kecil disebut sebagai “luak”. Kata ini sering diucapkan pula sebagai “luhak”. Sebutan luak atau luhak memiliki pengertian yang sama oleh seluruh penduduk di daerah lainnya di Sumatera Barat.
“Tiada kehidupan tanpa air”, inilah dalil yang berlaku untuk makhluk hidup. Sementara kata minang berasal dari kata ma-inang yang berarti memelihara atau ibu yang memelihara anaknya.
Berdasarkan foto-foto hasil research terhadap kristal-kristal air/es; Dr. Masaru Emoto membuktikan bahwa air membawa pesan-pesan tersembunyi terhadap kondisi jiwa manusia.
Penilaian terhadap air, diutamakan dari segi kualitasnya. Sebagai contoh, meskipun jumlah air cukup banyak, tapi beracun maka manusia tak bisa hidup dengan air kotor tersebut.
Kabau atau kerbau adalah makhluk yang paling dekat dengan kehidupan nenek moyang kita zaman dahulu. Tenaga (daya) binatang ini sangat dibutuhkan untuk membajak atau menggarap sawah. Sementara itu, dagingnya merupakan syarat utama untuk dihidangkan dalam pesta-pesta adat. Semakin banyak jumlah kerbau yang dimiliki maka semakin cepat pula perkembangan masyarakat. Kerbau lebih melambangkan pemahaman terhadap nilai kuantitas kehidupan manusia pada masa itu.
Nenek moyang kita, pada mulanya bermukim di Nagari-nagari, dalam lingkungan agraris. Mereka sadar betul akan manfaat kedua jenis makhluk ini. Pada saat itu mereka tidak bisa hidup dan tidak mungkin dapat mengembangkan peradabannyatanpa keterlibatan kedua benda-makhluk tersebut (air-luak: minang dan kerbau).
Oleh karena itu, muncullah metafora “minangkabau” untuk acuan kehidupan. Dengan kata lain, nama “minangkabau” adalah metafora lambang dua nilai (kualitatif dan kuantitatif) yang selalu ada di alam ini.
Kata “minangkabau” tak bisa diartikan secara harfiah sebagai kegiatan memelihara binatang kerbau yang dilakukan nenek moyang kita.
Ketika Nagari-nagari semakin padat dan wawasan baru perlu juga dikembangkan, maka kehadiran daerah di luar nagari asli mutlak dibutuhkan. Nenek moyang kita kemudian menamakan daerah baru itu sebagai rantau. Rantau bukanlah daerah asing antah-berantah yang terpisah dengan luhak. Pergi merantau tidak sama dengan migrasi.
Kata rantau mempunyai konotasi dengan air pula. Contohnya dalam kalimat: Si Usuik hanyuik sarantau. Maksudnya si Usuik hanyut dibawa arus sungai, tidak sampai hilang betul, tapi dia masih berada di belakang satu lekukan sungai yang berkelok-kelok. Keberadaan si Usuik yang hanyut tsb. masih bisa ditelusuri melalui jalan darat ataupun berperahu.
Jadi “rantau” masih memiliki hubungan dengan dengan daerah asal. Bukan tempat pemukiman antah-berantah tak punya hubungan dengan daerah asal. Rantau tak sama maknanya dengan migrasi. Orang Minang menyebut migrasi ini dengan merantau Cino.
Bagi orang Minangkabau luhak akan selalu berpasangan rantau, walaupun secara fisik hal ini terkadang sulit direalisasikan. Minang analog dengan luak atau metafora dari sesuatu sumber kehidupan manusia. Kabau analog dengan rantau, adalah metafora dari suatu “keadaan” yang bisa membantu kehidupan manusia.
Kata-kata yang pertama nilai ukurannya bersifat kualitatif dan kata-kata yang kedua nilai ukurannya bersifat kuantitatif, seperti nilai-nilai informasi di dalam kitab Alquran amanu wa amilus sholihatiatau aqimus sholata wa atuzzakata ataupun kalimat tauhid maupun kalimat syahadat kita.
Buya Hamka dalam seminar adat 1970 menyebutkan ada tiga persyaratan untuk dapat disebut sebagai orang Minangkabau, yaitu:
1. Memiliki nenek moyangnya yang berasal dari gunung Merapi atau nagari Pariangan Padang Panjang
2. Berkiblat sembahyang ke Mekkah.
3. Mengakui negara Republik Indonesia yang berazas Pancasila serta berdasar UUD 45.
4. orang Minang itu harus “tahu diampek”.
Jika ke empat persyaratan ini telah terpenuhi dan diakui keberadaannya pada diri seseorang, maka orang tersebut baru dapat disebut sebagai orang Minangkabau dan sekaligus sebagai manusia Indonesia.
Dari kalimat yang terakhir itu dapat dilihat perbedaan antara “orang” dengan “manusia”. Tidak semua manusia mengerti dan bisa menjadi orang.
Apakah perlu menjadi kita harus menjadi “orang” khususnya menjadi orang Minang, silakan jawab sendiri sesuai dengan raso-paresonya masing-masing.
Artikel ini diambil dari Situs Nagari.or.id, berjudul asli “ Minangkabau sebagai Bit Informasi”. Sangat menarik untuk memahami istilah Minangkabau sesungguhnya. Bahwa istilah yang sebelumnya diriwayatkan oleh Tukang Kaba atau Tambo-tambo sebagai istilah yang berasal dari kemenangan masyarakat minang zaman dahulu dalam pertandingan aduan kerbau. Di era sekarang ini, dimana manusia tidak bisa lagi diajak memhami sesuatu dengan hal yang berbau mithos dan mistik, maka pemahaman istilah minangkabau di era bit informasi sangat perlu disebar luaskan. Untuk memudahkan pemahaman generasi muda maka kami menyadurnya menjadi potongan-potongan artikel dalam postingan blog ini.
sumber : http://nagari.or.id/?moda=minangkabau yang artikel aslinya tersebut sebagai berikut :
Penduduk yang bermukim di nagari Tanjuang Sungayang dan Nagari Minangkabau di dekat nagari Pagaruyuang di Luhak nan Tuo, Tanah Datar, menyebut sumber mata air artesis di tempat mereka dengan sebutan “minang”.
Minang memiliki beberapa pancuran untuk mengalirkan airnya, sedangkan sumur mata air yang lebih kecil disebut sebagai “luak”. Kata ini sering diucapkan pula sebagai “luhak”. Sebutan luak atau luhak memiliki pengertian yang sama oleh seluruh penduduk di daerah lainnya di Sumatera Barat.
“Tiada kehidupan tanpa air”, inilah dalil yang berlaku untuk makhluk hidup. Sementara kata minang berasal dari kata ma-inang yang berarti memelihara atau ibu yang memelihara anaknya.
Berdasarkan foto-foto hasil research terhadap kristal-kristal air/es; Dr. Masaru Emoto membuktikan bahwa air membawa pesan-pesan tersembunyi terhadap kondisi jiwa manusia.
Sejak dahulu kala para Pawang hujan, Dukun penyembuh penyakit dan Peritual agama-agama menyadari bahwa air adalah makhluk hidup. Air bisa diperintah pergi atau dipanggil. Di puncak bukit Kasumbo (Bukit Kayu Sebatang) Anda boleh berdoa dengan khusuk dan air akan muncul ke luar menetes dari luak (luhak) bila Anda ikhlas dan bersih lahir-batin. Pada air lah Tuhan menitipkan nyawa (bukan Ruh !) makhluknya |
Kabau atau kerbau adalah makhluk yang paling dekat dengan kehidupan nenek moyang kita zaman dahulu. Tenaga (daya) binatang ini sangat dibutuhkan untuk membajak atau menggarap sawah. Sementara itu, dagingnya merupakan syarat utama untuk dihidangkan dalam pesta-pesta adat. Semakin banyak jumlah kerbau yang dimiliki maka semakin cepat pula perkembangan masyarakat. Kerbau lebih melambangkan pemahaman terhadap nilai kuantitas kehidupan manusia pada masa itu.
Nenek moyang kita, pada mulanya bermukim di Nagari-nagari, dalam lingkungan agraris. Mereka sadar betul akan manfaat kedua jenis makhluk ini. Pada saat itu mereka tidak bisa hidup dan tidak mungkin dapat mengembangkan peradabannyatanpa keterlibatan kedua benda-makhluk tersebut (air-luak: minang dan kerbau).
Oleh karena itu, muncullah metafora “minangkabau” untuk acuan kehidupan. Dengan kata lain, nama “minangkabau” adalah metafora lambang dua nilai (kualitatif dan kuantitatif) yang selalu ada di alam ini.
Kata “minangkabau” tak bisa diartikan secara harfiah sebagai kegiatan memelihara binatang kerbau yang dilakukan nenek moyang kita.
Ketika Nagari-nagari semakin padat dan wawasan baru perlu juga dikembangkan, maka kehadiran daerah di luar nagari asli mutlak dibutuhkan. Nenek moyang kita kemudian menamakan daerah baru itu sebagai rantau. Rantau bukanlah daerah asing antah-berantah yang terpisah dengan luhak. Pergi merantau tidak sama dengan migrasi.
Kata rantau mempunyai konotasi dengan air pula. Contohnya dalam kalimat: Si Usuik hanyuik sarantau. Maksudnya si Usuik hanyut dibawa arus sungai, tidak sampai hilang betul, tapi dia masih berada di belakang satu lekukan sungai yang berkelok-kelok. Keberadaan si Usuik yang hanyut tsb. masih bisa ditelusuri melalui jalan darat ataupun berperahu.
Jadi “rantau” masih memiliki hubungan dengan dengan daerah asal. Bukan tempat pemukiman antah-berantah tak punya hubungan dengan daerah asal. Rantau tak sama maknanya dengan migrasi. Orang Minang menyebut migrasi ini dengan merantau Cino.
Bagi orang Minangkabau luhak akan selalu berpasangan rantau, walaupun secara fisik hal ini terkadang sulit direalisasikan. Minang analog dengan luak atau metafora dari sesuatu sumber kehidupan manusia. Kabau analog dengan rantau, adalah metafora dari suatu “keadaan” yang bisa membantu kehidupan manusia.
Kata-kata yang pertama nilai ukurannya bersifat kualitatif dan kata-kata yang kedua nilai ukurannya bersifat kuantitatif, seperti nilai-nilai informasi di dalam kitab Alquran amanu wa amilus sholihatiatau aqimus sholata wa atuzzakata ataupun kalimat tauhid maupun kalimat syahadat kita.
Buya Hamka dalam seminar adat 1970 menyebutkan ada tiga persyaratan untuk dapat disebut sebagai orang Minangkabau, yaitu:
1. Memiliki nenek moyangnya yang berasal dari gunung Merapi atau nagari Pariangan Padang Panjang
2. Berkiblat sembahyang ke Mekkah.
3. Mengakui negara Republik Indonesia yang berazas Pancasila serta berdasar UUD 45.
4. orang Minang itu harus “tahu diampek”.
Jika ke empat persyaratan ini telah terpenuhi dan diakui keberadaannya pada diri seseorang, maka orang tersebut baru dapat disebut sebagai orang Minangkabau dan sekaligus sebagai manusia Indonesia.
Dari kalimat yang terakhir itu dapat dilihat perbedaan antara “orang” dengan “manusia”. Tidak semua manusia mengerti dan bisa menjadi orang.
Apakah perlu menjadi kita harus menjadi “orang” khususnya menjadi orang Minang, silakan jawab sendiri sesuai dengan raso-paresonya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar