Selasa, 21 Oktober 2014

KATO KATO PUSAKO

Manusia Tahan Kieh Binatang Tahan Palu
MENGATAKAN atau menyampaikan tentang suatu hal dengan lugas bukanlah kebiasaan dan karakter masyarakat Minangkabau.
Jika ada sesuatau yang ingin disampaikan pada orang lain, berupa nasehat yang lainnya, akan disampaikan dalam berbagai metafora dan sindiran. Kearifan yang dimiliki masyarakat Minangkabau saat bertutur dan berkata-kata selalu disampaikan dengan pilihan kata yang terseleksi agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Bagi yang tak bisa memahami kondisi ini, maka yang bersangkutan akan dianggap belum mampu menjadi manusia dewasa.
Jika ada orang yang sama sekali tidak faham dan tidak mempan dengan berbagai kiasan dan sindiran, maka derajat orang tersebut akan jatuh dan lebih rendah dari derajat yang dimiliki manusia, “manusia tahan kieh, binatang tahan palu”.
Kebiasaan yang telah diwarisi sejak lama ini merupakan cerminan dari kehalusan budi yang dimiliki orang Minangkabau dalam menjaga harkat pribadi maupun orang lain.

Ukuran menjadi manusia dewasa dalam budaya Minangkabau terukur dan teruji jika sudah mencapai tingkat kearifan dalam hidup. Kearifan yang dimiliki makin teruji saat bergaul dalam lingkungan luas, jika sudah saling memahami dan mengasah keterampilan daya pikir dalam mengolah dan mencerna metafora hidup. Tak semua perkataan dalam budaya Minangkabu disampaikan secara lugas. Dalam tuturan masyarakat Minangkabau selalu mengandung kias dan banding. Kias ( kieh ) merupakan sebuah perumpamaan yang disampaikan dalam bentuk sindiran memiliki kedalaman makna. Tidak mudah dipahami begitu saja jika tidak mempelajarinya dengan baik. “Bandiang” atau banding sebentuk ungkapan yang disampaikan dengan membandingkan satu hal dengan perumpamaan lain yang kadang terkesan tidak relevan dengan objek pembicaraan.
Jika si pendengar tidak memiliki kepekaan dan kearifan maka yang bersangkutan akan merasa kesulitan untuk memahami apa yang dikatakan. Begitulah budaya Minangkabau.

“Manusia tahan kieh, alun bakilek alah bakalam”, tidak dianggap menjadi manusia jika hal yang demikian telah hilang dalam diri seseorang. Satu komponen dari kecerdasan otak yang dimiliki telah menghilang dalam diri manusia.
Manusia seakan kehilangan fungsi otak kanan yang menjadi basis estetis dalam memahami betapa indahnya kehidupan.
Basis dasar yang harus dimiliki agar nilai dan kearifan tertanam dalam diri manuisa. Sebagai basis penyeimbang antara olah pikir dan kekuatan jiwa.
“Kieh jo bandiang” sebagai Warisan nilai luhur budaya Minangkabau dalam pembentukan karakter dan kualitas masyarakatnya telah tergerus ditelan arus peradaban.”
Kieh jo bandiang”, sebentuk otokritik yang dimiliki budaya Minangkabau tak lagi mempan dan berguna. Ironisnya sesuatu yang verbalpun kadang orang tak lagi membuat orang bisa faham dan mengerti. Betapa telah terjadi sebuah Tragedi kemanusiaan dimana kualitas kemanusiaan kita yang dimiliki hari ini, patut dipertanyakan.

“Binatang tahan palu, ditokok baru manggarik”, begitulah cara memperlakukan hewan dalam keseharian sebagai bentuk tindakan agar dapat dipahami hewan tersebut. Sebagai makhluk yang tidak dapat memahami bahasa manusia, pukulan menjadi tanda bagi binatang saat diperintahkan untuk melakukan sebuah pekerjaan atau saat menyuruhnya pergi. Kerbau atau kuda makanan cambuk agar lebih keras bekerja dan kencang larinya, ayam dan itik makanan halau dengan pengalan panjang agar menjauh dari jemuran padi. Tak ada bahasa yang tepat yang dapat digunakan pada hewan tersebut.
Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi Jika kebiasaan memalu dan memukul juga dilakukan pada manusia.
Malahan hewan sekalipun jika dilatih, akan memiliki kepekaan dan kemampuan memahami bahasa dan isyarat dari manusia untuk dirinya.


Bagantuang di Aka Lapuak
PEMIMPIN masyarakat dalam terminology adat Minangkabau digambarkan sebagai sosok manusia yang harus memiliki kekuatan, kecakapan, mempunyai daya pikat dan kharismatik yang tinggi, serta cerdas dalam memimpin. Dalam masyarakat Minangkabau, sosok pimpinan yang diidamkan dianalogikan sebagai sebatang pohon beringin.
Pohon beringin biasanya tumbuh dan berdiri kokoh di pusat nagari, yang diuraikan dengan cerdas oleh masyarakat Minangkabau sebagai:
batangnyotampek basanda,
daunnyolabek dapek balinduang,
urek-nyo gadang tampek baselo,
akanyo kuek kadipagantuang.

Akar yang terdapat pada pohon beringin bersifat sangat alot dan kuat. Akat tersebut memiliki multifungsi. Akar tersebut dapat digunakan sebagai pengikat untuk menyatukan barang bawaan agar tidak berserakan saat dibawa.
Akarnya juga dapat digunakan sebagai pengganti tali untuk menggantungkan sesuatu. Akar beringin dalam pemahaman masyarakat Minangkabau tidak dipandang sebatas dari fungsi fisiknya semata, di balik kekuatan yang dimiliki oleh akar tersebut juga diberi pemaknaan yang luas dan mendalam sebagai gambaran yang menyatakan salah satu sikap ideal yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin maupun calon pemimpin pada suatu kaum maupun suatu nagari.
‘Akar’ dalam konsepsi kepemimpinan adalah semacam basis dasar dari bentuk kepemimpinan yang mesti dimiliki seseorang. Baik atau buruknya kualitas kepemimpinan yang dimiliki seseorang juga sangat ditentukan dari mana akar kepemimpinan itu tumbuh dan berasal. Jika dasar akarnya sudah kuat maka garis kepemimpinan yang dimiliki akan kuat juga, jika dasar akarnya lemah maka akan lemah pulalah kepemimpinannya. Berkaca dari sejarah berbagai negeri yang pernah dipimpin oleh seorang yang lemah, tidak memiliki dasar yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin, maka negara yang dipimpinnya cenderung gagal dan bangkrut.
Masyarakatnya kehilangan rasa kepercayaan dan mudah frustrasi. Tak ada tempat bagi masyarakat untuk dapat menggantungkan harapan dan cita-cita mereka.
Tak jarang juga yang terjadi alih-alih sebagai tempat menngantungkan nasib bagi masyarakat banyak, nasibmya sendiri pun kadang tidak bisa dibereskannya karena terbentur oleh sikap kepemimpinan yang lemah tadi.
Lebih celaka lagi jika akar yang dipakai sebagai tempat mengayutkan harapan dan impian tersebut telah lapuk dan rapuh. “Bagantuang di aka lapuak” adalah sebuah kenyataan pahit yang dialami masyarakat saat ini pasca lemahnya sikap para pemimpin dalam melakukan pengayoman pada masyarakatnya.
Berharap pada pemimpin yang lemah, masyarakat dewasa ini umumnya dapat diibaratkan sedang “bagantuang di aka lapuak”. Para pemimpin telah menjadikan dirinya seakan memiliki kemampuan sebagai tempat menggantungkan harapan dan cita-cita bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Melalui berbagai siasat pencitraan, para pemimpin dari luarnya kelihatan kokoh dan hebat, namun saat ‘ditompangi’ maka para penumpangnya pun terjengkang. Begitulah indahnya dunia pencitraan jika tak hati-hati dalam menyikapinya, “jikok bagantuang di aka lapuak” terjengkang kita dibuatnya.


Pucuak Lah Maampeh, Urek Lah Basaua
HOMOGENITAS dalam masyarakat Minangkabau tak lantas menjadikan wangsa ini tertutup dalam pergaulan dengan wangsa lain dan menjadi ekslusif. Tradisi merantau yang telah dimiliki wangsa Minangkabau sejak awal, telah membentuk watak dan karakter dalam diri wangsa MInangkabau menjadi manusia bebas, terbuka mudah bergaul dengan berbagai etnis yang ada. Pertemuan dalam dunia rantau dengan berbagai etnis tersebut telah membuahkan berbagai bentuk hubungan kekerabatan antar etnis maupun sesama etnis minang sendiri. Tak jarang hubungan tersebut berlanjut menjadi istimewa lebur dalam hubungan yang lebih dalam, yang lazim dalam bahasa Minangkabau disebut dengan istilah “badunsanak”.

Ungkapan badunsanak dalam tradisi Minangkabau Jika sudah diikrarkan (adaik di isi limbago di tuang), maka hubungan di antara merekapun otomatis lebur dalam satu ikatan suku atau kaum, menjadi senasib dan sepenangungan, sehina dan semalu. Sebagaimana kita ketahui kultur masyarakat Minangkabau yang menganut system perkawinan eksogami, setiap orang Minangkabau diharuskan menikah dengan orang dari luar sukunya. Jika ada yang melanggarnya maka yang bersangkutan akan dibuang sepanjang adat. Demikian juga yang terjadi jika ada orang dari etnis lain yang menyatakan bahwa dia telah masuk kesalah satu suku yang ada di Minangkabau diantara mereka maka juga tak boleh lagi ada ikatan perkawinan karena sudah dianggap menjadi seorang “dunsanak”.
Berbagai ikatan persaudaraan yang ada di Minangkabau tidak mutlak harus selalu diatur secara adat. Banyak ditemui dalam masyarakat apalagi di perantauan terjadi hubungan yang harmonis antara dua tetangga dalam satu lingkungan. Bentuk lain hubungan kekerabatan yang ada diantaranya, ada satu keluarga yang telah mengangkat seseorang jadi anak, atau adik yang berasal diluar sukunya. Mereka menjadi saudara dan mempunyai kedekatan batin. Begitulah indahnya sebuah hubungan yang dilandasi dengan ketulusan dan budi pekerti, Pucuak lah maampeh, urek lah basaua.
Pucuak lah maampeh urek lah basaua sebuah gambaran mengenai sebuah ikatan kekerabatan yang telah terjadi dengan sendirinya karena telah hidup bertetangga dan berdampingan dalam waktu yang panjang. Hubungan yang terjadi mungkin saja telah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka. Saking lamanya hidup bertetangga sampai terbangun sebuah bentuk hubungan baru, menjadi kerabat dekat walau tidak berasal dari etnis atau suku yang sama. Dari hubungan kekerabatan yang terbangun dengan sendirinya ini, muncullah sikap saling pengertian. Selama bertetangga nyaris tak ada pertengkaran diantara mereka, tidak ada saling iri apalagi sampai saling mencikaraui satu sama lain. “Pucuak maampeh” ibarat dua pohon berbeda yang tumbuh saling berdampingan, karena saking dekatnya pucuk daun dipuncak keduanya sampai bertemu dan dan saling melindungi.
Akarnyapun di dalam tanah telah menyatu menjalin diri dalam satu ikatan. Dua pohon dari jenis berbeda namun telah saling terkait dalam satu ikatan kuat, tapi mempunyai kesadaran mengenai posisinya masing-masing, “lado jo padehnyo, sidukuang anak jo paiknyo”, masingmasingnnya tidak mau saling campur tangan memperlihatkan kelebihan masing-masing.
Namun dalam silturahmi mereka saling memahami, laiknya dengan saudara sendiri tidak saling Intervensi satu sama lain. Keduanya tak akan saling pamer mengenai kelebihan masing-masing seperti lazimnya yang terjadi saat ini, “ kecek lado, lado nan padeh, kecek sidukuang anak, inyo nan paik.

Nan Tuo Manahan Batin, Nan Mudo Manahan Lahie
DIKOTOMI tua dan muda tak jarang kerap muncul dan menjadi masalah dalam suatu kehidupan bersama, baik dalam organisasi kesukuan di satu kenagarian maupun pada sebuah organisasi modern lainnya.
Perbedaan antara kalangan tua dan muda biasanya terjadi pada tataran cara pandang dan tata cara penanganan suatu persoalan, baik dalam pemikiran maupun dalam tindakan.
Para kalangan muda, dengan kemudaannya suka alpa dalam bertindak, menabrak tata aturan, asal main sikat saja.

Sementara para kalangan tua sudah semestinya memiliki banyak pertimbangan walau terkesan lamban tapi masalah terselesaikan. Begitulah dinamika suatu cara pandang antara kelompok tua dan kelompok muda, tak jarang diantara dua generasi ini jika dipertemukan dalam sebuah momen me munculkan perseberangan.
Nan tuo manahan batin, pada sebagagian masyarakat ada juga yang menyebutnya dengan ungkapan nan tuo manahan ragam. Jika ditelisik lebih dalam petatah using ini kembali menyadarkan kita, terhadap berbagai resiko hidup yang imbasnya pada pertaruhan harga diri dan kepribadian Jika tidak hatihati menyikapinya. Kepatutan dan kepantasan dalam sikap dan perbuatan mesti disesuaikan dengan usia. Seiring dengan bertambahnya usia maka semakin tinggi tingkat kearifan yang dimiliki seseorang.
Dengan bertambahnya usia, makin banyak merasakan asam garam kehidupan, makin matanglah hendaknya dalam tindakan dan pemikiran.
Terbiasa memilah, menyeleksi berbagai tindakan dan pemikiran sehingga tak semua hal mesti diverbalkan. Dalam menyikapi satu persoalan, tak jarang para orang tua hanya menyikapi dengan seulas senyum, sebagai tanda sudah faham, tak perlu diujudkan lagi dalam bentuk perkataan,” Alun takilek lah bakalam”.
Begitulah nilai kearifan para kalangan tua. Ada pameo yang menyatakan “Lah mangecek pulo mangkok ka bedo”.
Nan mudo manahan lahie, jamaknya anak muda biasa ceroboh dalam bertindak, lebih megutamakan kekuatan dari pada pemikiran. Mempunyai kecenderungan sikap emosional, tak peduli dengan resiko yang akan dialami, hantam dulu, perkara belakangan.
Begitulah para anak muda bisa ceroboh sesuai dengan usia dan kemudaan yang yang mereka miliki. Kemampuan menahan dirinya cenderung lemah, mudah terjebak pada hal yang merugikan. Memang sudah menjadi sebuah kewajaran sebagai orang muda terkadang memiliki sikap ceroboh disertai dengan emosi yang labil.
Adagium “nan mudo Manahan lahie” mengingatkan para kalangan muda agar mawas diri, memiliki kemampuan yang baik dalam menata prilaku, pandai mengendalikan diri, piawai dan cerdas dalam emosional. “Mantangmantang tulang gadang, agakagak urang ka talendo”.
Akan lebih celaka lagi jika pepatah ini tak lagi dijadikan pedoman dan diamalkan.
Kondisi ini memungkinkan menjadi sumber petaka, terjadinya berbagai gejolak dan ketimpangan. Saat masingmasing pihak tidak lagi menyadari posisi kedirian dengan bijak, maka pegeseran nilai dan moralitas dalam masyarakat semakin menjadi salah arah. Yang tua berlagak muda, gaya dan tingkahnya tak mau kalah dari yang muda-muda, sebaliknya kalangan mudapun telah kehilangan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang yang lebih tua, semuanya sudah sama rata dan sama rasa pupuslah batas nilai dan norma yang ada, terutama pada budaya alam Minangkabau.
Bagalau taranak tangah padang, nan gaek ndak tau di gaeknyo, nan ketek ndak tau jo keteknyo.

Pado Pacah di Muluik, Bia Pacah di Paruik
BERKACA pada masa lalu, banyak para tokoh besar asal Minangkabau yang menjadi hebat dan terkenal dari satu sikap budaya yang telah mereka warisi yakni egaliter. Sikap egaliter yang dimilki oleh wangsa Minangkabau telah menciptakan ruang kritis bagi kedinamisan berfikir masyarakatnya. Silang pendapat serta beradu argument dalam berolah pikir merupakan hal yang biasa karena sudah terbentuk sedari awal, hal ini terlihat dalam setiap upacara adat yang selalu argumentatif.
Masyarakat Minangkabau telah terlatih dalam beradu argumen serta pemikiran dengan siapa saja, membicarakan nilai dan kebenaran demi kemaslahatan sudah menjadi hal yang biasa. Sikap egaliter dalam kebudayaan Minangkabau telah melahirkan para politikus tangguh, ahli kebudayaan handal dan berbagai professional lainnya.

Sebagai wangsa yang memiliki kebebasan berfikir serta egaliter dalam bersikap, tidak lantas menjadikan wangsa ini menjadi etnis yang suka bertindak semaunya. Dibalik sikap egaliter terbangun kesadaran penuh terhadap suatu integritas diri. Dalam sikap egaliter yang diwarisi terkandung tanggung jawab besar terhadap diri sendiri dengan menjaga integritas yang memuliakan dan mengedepankan nilainilai kemanusiaan.
Tanpa disadari arus perubahan zaman menyebabkan telah terjadi pemaknaan dangkal terhadap sikap egaliter wangsa ini. Saat ini orang dapat saja berbicara semaunya tanpa filter, tak lagi mempertimbangkan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Masyarakat kita hari ini telah kehilangan daya selektif dalam bertindak dan berfikir, kalau berbicara suka seenaknya apakah orang lain akan tersinggung atau terhina tak menjadi soal. Masyarakat cenderung tak mempertimbangkan lagi kepantasan dan kepatutan akibatnya kondisi menjadi pemicu berbagai persoalan dan potensi menimbulkan permusuhan antar sesama.
Pado pacah di muluik bia pacah di paruik merupakan filter dan sikap selektif yang harus dimiliki. Tak semua perkataan harus di ucapkan, ada tempatnya dan ada saatnya, inilah makna yang terkandung dari ungkapan diatas. Ini adalah semacam sikap selektif dan kehati-hatian saat berbicara, dengan mempertimbangkan berbagai dampak sebagai akibat dari pembicaraan tersebut, tanpa harus kehilangan daya kritis tentunya.
Melakukan pembicaraan dengan yang orang yang lebih dewasa, orang tua maupun yang muda sudah seharusnya mengutamakan kepantasan dan kepatutan. Sementara yang terjadi pada saat ini, mana yang tak patut dibicarakan itu yang menjadi topik hangat, mana yang harus dibicarakan malah didiamkan.
Sisi lain dari idiom ini juga dipelintir dan digunakan oleh sebagian orang untuk berbagi kebohongan. Ungkapan ini dimaknai sebagai bentuk kesetiakawan dan persekongkolan dalam satu kroni.
Dari pada harus melaporkan suatu kejahatan lebih baik disimpan saja dari pada masalah makin melebar dan ikut terseret dalam persoalan tersebut. Bagi sesama koruptor misalnya akan lebih baik merahasiakan teman koruptornya, rancak pacah diparuik, dari pada pacah dimuluik dengan membeberkan kejahatan korupsi beserta jaringannya pada khalayak ramai. Padahal makna yang terkandung dalam pepatah ini tidak demikian, pado pacah di muluik bia pacah di paruik merupakan sebuah integritas diri membangun watak yang bermartabat dalam masyarakat.


Bakulimek Sabalun Abih
KESUBURAN alam dan luasnya hutan merupakan sumber penghidupan yang tak berhingga dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Kekayaan alam tersebut dimanfaatkan masyarakat menjadi lahan garapan bersama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan perekonomian. Dengan sistem kesukuan yang dianut, masyarakat Minangkabau telah mengarifi, memanfaatkan serta mengolahnya untuk penghidupan.
Kekayaan alam merupakan warisan abadi diturunkan pada anak dan kemenakan dalam ujud pusaka tinggi. Warisan yang wajib dipelihara sebagai pertahanan ekonomi kaum dalam kurun waktu yang tak berbatas.

Prinsip mengarifi Kekayaan alam ditanamkan dalam bentuk pengelolaan secara komunal kaum dan suku. Pusaka yang telah diwarisi suatu kaum pada hakekatnya tidak ada yang boleh menjual maupun menggadaikannya, kecuali atas beberapa alasan tertentu menurut adat.
Seiring dengan perkembangan zaman dengan jumlah penduduk yang semakin banyak, sementara ketersediaan lahan dirasakan kian sempit. Kondisi ini disikapi oleh wangsa Minangkabau dengan melakukan perluasan wilayah dari pegunungan menuju pesisir yang lazim dibunyikan dalam adagium adat dengan merantau. Rantau menjadi wilayah alternatif bagi wangsa Minangkabau tempat ajang bertarung dalam menimba pengalaman dan pengetahuan sebagai bentuk pematangan jati diri. Selain itu profesi saudagar juga dijadi pilihan dominan orang Minangkabau dalam masa perantauannya sehingga wangsa ini dikenal sebagai saudagar yang ulet dan tangguh mengisi seluruh pelosok rantau dunia.
Sebagaimana lazimnya hidup merantau masuk ke wilayah baru, dimana hak belum tentu dapat berpunya. Jauh dari tanah kelahiran membentuk kesadaran baru bagi orang Minangkabau agar lebih hati-hati dalam menjalani hidup. Hidup dirantau tak sama dengan dikampung halaman. Wilayah rantau merupakan ajang perarungan bebas memaksa perantaunya untuk bersikap bijak dan hati-hati dalam mengarungi samudera kehidupan. Kondisi Ini menjadi perhatian dan disinyalkan melalui pepatah Minangkabau, “bakulimek sabalun habih”.
Bakulimek sabalun habih pepatah usang jadi petuah bagi niniak mamak, dan cerdik pandai saat melepas anak kemenakannya pergi bertarung menapaki kehidupan baru di perantauan. Ungkapan bakulimek merupakan sebuah bentuk pemahaman yang berkaitan dengan penataan sikap dalam manajemen tradisional wangsa Minangkabau. Menjauhkan diri agar tidak menjadi boros, menciptakan skala prioritas dengan menetapkan mana yang wajib dan mana yang sunat. Merancang strategi pengeluaran dengan jitu dan realistis adalah pesan utama dari pepatah ini. Seperti sebuah ungkapan dalam pepatah asing, Jika kita membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan maka kita segera akan menjual apa yang telah dipunyai.
Bakulimek sabalun habih menjadi peringatan bagi para perantau agar menjalani hidup lebih reilistis terhindar dari pukauan materialime yang menjerat. Berhemat bukan berarti menjadi kikir apa lagi bakhil. Sebuah penataan sistem perekonomian dalam manajemen sederhana untuk ketahanan ekonomi jangka panjang merupakan makna yang tersimpan dibalik ungkapan ini.
Berhemat adalah sebuah strategi jangka panjang menghindarkan dari berbagai kesulitan ekonomi yang sulit diduga. jika segalanya sudah habis maka harga diripun dapat menjadi kikis, bakulimek sabalun abih begitu pesan yang selalu disampaikan.


Pado Ditangkok Ragu, Ancak Ditangkok Harimau
HARIMAU, dalam masyarakat tradisional Minangkabau, biasanya juga disebut dengan sebutan inyiak. Gelar inyiak yang melekat pada hewan ini merupakan panggilan sebagai penghormatan agar terhindar dari kemarahan sang inyiak. Sebagian lagi ada juga yang menyebutnya dengan harimau atau rimau saja. Berbagai mitos dan aroma keghaiban berkembang dalam tradisi masyarakat Minangkabau mengenai inyiak balang ini. Beragam cerita yang ada ditengah masyarakat, dari harimau yang pandai bersilat sampai pada cindaku atau manusia yang mampu berubah wujud menjadi harimau. Selain itu harimau juga dijadikan sebagai hewan peliharaan untuk menjaga sawah dan ladang dan harta pusaka lainnya dari gangguan pihak lain. Dan jangan pula dibayangkan bahwa harimau peliharaan ini sama dengan harimau yang ada dikebun binatang. Hewan yang dipelihara ini adalah hewan ghaib yang kadangkala tak dapat dilihat secara kasat mata. Si pemeliharanya sudah tentu menguasai ilmu-ilmu ghaib juga.

Pilihan antara hidup dan mati adalah sebuah konsekwensi yang mesti ditemui jika berurusan dengan hewan yang satu ini. Keberanian menghadapi sebuah konsekwensi serta mempunyai ketetapan hati didalam pilihan adalah makna yang terkandung dalam pepatah tradisional Minangkabau ini. Pado ditangkok ragu, ancak ditangkok Arimau ungkapan yang menjadi penegasan dari sikap hidup, berani dan tegas di dalam menentukan pilihan. Tegas dalam kebijakan, sekalipun akan menjadi kontraproduktif dan tidak populer tetap lebih baik dari pada tidak melakukannya sama sekali.
Ditangkok ragu merupakan sebentuk sikap yang selalu ragu dalam bertindak, suka menghindar dan menelantarkan masalah lalu membiarkan sampai menggunung, lalu akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Selalu ragu seakan tak punya jati diri, gagap dalam bertindak, takut dalam memutus, dan sikap pengecut bukanlah watak wangsa Minangkabau. Sikap pengecut penuh keragu-raguan merupakan pantangan yang harus dihindari. Hidup dengan pilihan sendiri menjadi putusan yang tidak bisa ditawar, sebagai mana dipahami bersama bahwa dalam budaya Minangkabau setiap orang adalah pemimpin. Siklus hidup terus bergulir menggiring anak Minangkabau memikul tanggung jawab untuk menjadi seorang pemimpin bagi anak dan kemenakannya di dalam kaum. Pada saatnya mereka semua akan menjadi seorang pemimpin, berani bertindak dan memutus berbagai perkara dalam kapasitasnya entah sebagai seorang niniak mamak, seorang bapak, penghulu maupun alim ulama.
Demikian juga dengan para perempuannya, suatu saat mereka juga akan menjadi seorang ibu pimpinan dalam kaummnya yang disebut juga dengan bundo kanduang.
Jika karakter yang kuat tidak terbentuk secara dini, selalu diselimuti oleh keraguan dalam bertindak, apalagi mudah dipengaruhi pihak lain, sudah tentu berbagai kekacauan akan terjadi. Bercermin dari berbagai kenyataan yang terjadi akhirakhir ini, pada akhirnya hidup memang harus memilih, dari pado ditangkok ragu, ancak ditangkok arimau, jaleh iduik atau matinyo.


Bakulimek Sabalun Abih
KESUBURAN alam dan luasnya hutan merupakan sumber penghidupan yang tak berhingga dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Kekayaan alam tersebut dimanfaatkan masyarakat menjadi lahan garapan bersama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan perekonomian. Dengan sistem kesukuan yang dianut, masyarakat Minangkabau telah mengarifi, memanfaatkan serta mengolahnya untuk penghidupan.
Kekayaan alam merupakan warisan abadi diturunkan pada anak dan kemenakan dalam ujud pusaka tinggi. Warisan yang wajib dipelihara sebagai pertahanan ekonomi kaum dalam kurun waktu yang tak berbatas.

Prinsip mengarifi Kekayaan alam ditanamkan dalam bentuk pengelolaan secara komunal kaum dan suku. Pusaka yang telah diwarisi suatu kaum pada hakekatnya tidak ada yang boleh menjual maupun menggadaikannya, kecuali atas beberapa alasan tertentu menurut adat.
Seiring dengan perkembangan zaman dengan jumlah penduduk yang semakin banyak, sementara ketersediaan lahan dirasakan kian sempit. Kondisi ini disikapi oleh wangsa Minangkabau dengan melakukan perluasan wilayah dari pegunungan menuju pesisir yang lazim dibunyikan dalam adagium adat dengan merantau. Rantau menjadi wilayah alternatif bagi wangsa Minangkabau tempat ajang bertarung dalam menimba pengalaman dan pengetahuan sebagai bentuk pematangan jati diri. Selain itu profesi saudagar juga dijadi pilihan dominan orang Minangkabau dalam masa perantauannya sehingga wangsa ini dikenal sebagai saudagar yang ulet dan tangguh mengisi seluruh pelosok rantau dunia.
Sebagaimana lazimnya hidup merantau masuk ke wilayah baru, dimana hak belum tentu dapat berpunya. Jauh dari tanah kelahiran membentuk kesadaran baru bagi orang Minangkabau agar lebih hati-hati dalam menjalani hidup. Hidup dirantau tak sama dengan dikampung halaman. Wilayah rantau merupakan ajang perarungan bebas memaksa perantaunya untuk bersikap bijak dan hati-hati dalam mengarungi samudera kehidupan. Kondisi Ini menjadi perhatian dan disinyalkan melalui pepatah Minangkabau, “bakulimek sabalun habih”.
Bakulimek sabalun habih pepatah usang jadi petuah bagi niniak mamak, dan cerdik pandai saat melepas anak kemenakannya pergi bertarung menapaki kehidupan baru di perantauan. Ungkapan bakulimek merupakan sebuah bentuk pemahaman yang berkaitan dengan penataan sikap dalam manajemen tradisional wangsa Minangkabau. Menjauhkan diri agar tidak menjadi boros, menciptakan skala prioritas dengan menetapkan mana yang wajib dan mana yang sunat. Merancang strategi pengeluaran dengan jitu dan realistis adalah pesan utama dari pepatah ini. Seperti sebuah ungkapan dalam pepatah asing, Jika kita membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan maka kita segera akan menjual apa yang telah dipunyai.
Bakulimek sabalun habih menjadi peringatan bagi para perantau agar menjalani hidup lebih reilistis terhindar dari pukauan materialime yang menjerat. Berhemat bukan berarti menjadi kikir apa lagi bakhil. Sebuah penataan sistem perekonomian dalam manajemen sederhana untuk ketahanan ekonomi jangka panjang merupakan makna yang tersimpan dibalik ungkapan ini.
Berhemat adalah sebuah strategi jangka panjang menghindarkan dari berbagai kesulitan ekonomi yang sulit diduga. jika segalanya sudah habis maka harga diripun dapat menjadi kikis, bakulimek sabalun abih begitu pesan yang selalu disampaikan.

Kato Dahulu Kato Batapati
SEBAGAI masyarakat komunal dan hidup mengelompok dalam suku- suku, dalam hubungan interaksi sosial tradisi berunding merupakan bagian dari seremonial dalam budaya masyarakat di Minangkabau. Dalam setiap momen adat maupun keseharian, perundingan menjadi prioritas utama dalam mencapai suatu kesepakatan. Budaya berunding dalam masyarakat Minangkabau dapat terlihat saat memecahkan ragam masalah seperti, menetapkan batas ulayat, upacara perkawinan, sampai kematian, masalah harta pusaka dan sebagainya. Lalu hasil rundingan tersebut akan melahirkan apa yang dinamakan dengan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi dan dijalankan. Jika ada pihak yang mencoba melanggarnya, maka akan dihadapkan pada sanksi adat dan sanksi sosial.

Kato dahulu kato batapati, kato kudian kato bacari: ungkapan pepatah adat ini lazim digunakan untuk sebuah situasi penegasan ikrar dalam satu perundingan, baik pada upacara adat maupun kegiatan lainnya. Isi pepatah tersebut menjelaskan tentang sebuah sikap masyarakat Minangkabau dalam memahami sebuah kesepakatan bersama. Pepatah ini menegaskan bahwa berunding tidak semata menetukan hasil, akan tetapi tertompang sikap, prilaku dan budi pekerti didalamnya.
Pepatah di atas memiliki keluasan makna, didalamnya tersimpan kedirian masyarakat Minangkabau dalam mempertontonkan harkatnya sebagai manusia. Kato dahulu kato batapati: sebuah ungkapan yang mengandung dan menjujung tinggi nilai kejujuran, ketulusan serta kepatuhan terhadap sebuah janji. Konsistensi moral dengan melatih kejujuran pada diri sendiri dalam menjalankan sebuah komitmen yang sudah disepakati mesti dijalankan dengan konsekwen.
Kato kudian kato bacari merupakan upaya pengingkaran terhadap sebuah kesepakatan dalam satu perundingan. Biasanya kondisi ini dilatari oleh bermacam hal, mulai dari hasutan dan pengaruh pihak lain ataupun atas kemauan sendiri. kondisi ini sudah tentu tidak hanya berdampak pada gagalnya satu kesepakatan, tapi secara esensial kecacatan moral dan inkonsistensi dalam pendirian telah terbangun, menjadi stigma buruk yang berdampak tidak baik dalam hubungan sosial kemasyarakatan . Idiom ini juga menjadi gambaran untuk orang yang senang berkilah, pintar mencari alasan dalam mengalihkan persoalan.
Kato dahulu kato batapati, kato kudian kato bacari sebentuk sinyal budaya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dalam memahami pentingnya sebuah komitmen. Komitmen pada diri sendiri dan masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, jika hal ini terpakaikan tentu tidak ada masalah yang tak terselesaikan. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ditengah perkembangan pengetahuan, nilai moral makin tergerus disapu arus perubahan. Berbagai kearifan lokal telah dimanfaatkan dan dipelintir hanya untuk pembenaran. Tutur kata dikemas dengan lihai dalam retorika, kato dahulu kato batapati, kato kudian kato bacari dijadikan alat sebagai dalih menghindar diri dari sebuah janji maupun komitmen yang sudah diikrarkan.

Alah Limau Dek Binalu, Hilang Pusako Dek Pancarian
SIKAP terbuka dan adaptif telah mendasari budaya Minangkabau dalam membentuk pola pikir manusianya menjadi dinamis dalam memahami hidup dan kehidupan. Sikap dasar yang sudah dimiliki sejak lama ini sudah tentu tetap memiliki sisi positif maupun negatif. Kemampuan wangsa Minangkabau menyerap berbagai pengetahuan, menempatkan orang Minangkabau menjadi wangsa yang mudah bergaul dengan budaya lain dalam percaturan peradaban dunia. Sejumlah tokoh besar telah dilahirkan dari etnis Minangkabau dan mempunyai andil besar dalam pembentukan karakter bangsa.
Namun demikian kedaan ini tak selalu berkembang sesuai dengan apa yang telah terjadi. Pada saat ini masyarakat Minangkabau begitu permisif menelan bulat-bulat tanpa seleksi berbagai peru bahan yang tengah melanda.

Keadaan ini tentu saja sangat memprihatinkan. Pengaruh westernisasi masuk ke segala lini lini kehidupan merubah prilaku, sikap dan gaya hidup. Gejala disorientasi pemahaman masyarakat terhadap berbagai perubahan menyebabkan degradasi nilai dan moral yang dianut. Fase serbuan westernisasi (Budaya Barat) sangat menggiurkan dan menyilaukan, ditengah meredupnya interaksi antar budaya timur. Nilai kearifan dalam budaya tradisi semakin tergerus, menghasilkan masyarakat konsumtif berpaling dari budaya asali.
Fenomena perubahan yang terjadi melanda, berimbas pada gaya hidup. Kebebasan tanpa rambu merupakan trend baru yang tak terelakan. Berani tampil beda terutama dikalangan muda mulai merambah. Dengan alasan ekspresi munculah berbagai kelakuan yang  terkesan semaunya. Tidak ada lagi norma dan tata aturan yang sesuai dengan latar budaya yang dimiliki. Begitulah ekspresi generasi muda kita saat ini, wajah mereka tetap melayu tapi stylenya barat. Anting dibibir maupun hidung sudah menjadi pemandangan biasa, rambut dicat warna warni dengan tatto dikulit, asesoris dan fashion adalah santapan keseharian mereka.
Mall dan cafe dijadikan sarana ajang ekspresi, disana dengan mudah dapat ditemui para anak muda kita dengan dandanan trendy tapi kemayu dan gemulai laiknya para gadis, serta para anak perempuan kita yang tak risih lagi mengumbar aurat dan berpakaian seperti lelaki. Begitulah gaya hidup yang telah tumbuh sebagai bentuk kebudayaan baru dalam kungkungan kehidupan tanpa batas dan bebas nilai, Alah limau Dek Binalu.
Benalu sejenis tumbuhan parasit yang menompang pada tumbuhan lain, jika tidak diantisipasi potensi menghisap dan membunuh pohon tempatnya tumbuh. Pengaruh dan perubahan yang terjadi pada dilingkungan dan budaya masyarakat yang tengah melanda perlu diwaspadai. Alah limau Dek Binalu, pohon limau sebagai sebuah simbol dari satu peradaban telah dikalahkan oleh tumbuhan benalu, sebuah gambaran tentang kikisnya sebuah kebudayaan dan digantikan oleh budaya asing. Sementara budaya sendiri habis tinggal artefak yang di laplap dalam museum. Upacara adat ditampilakan sesekali pada kegiatan seremonial atau pada sebuah upacara sebagai sebuah penanda kita pernah ada.
Hilang Pusako Dek Pancarian, pengabaian terhadap budaya yang diwarisi yang dimiliki, lumpuhnya kesadaran diri untuk memelihara dan menggali nilai yang terkandung didalamnya. Hilang Pusako Dek Pancarian sebuah kealfaan yang terbangun secara sistematis dalam memahami kebudayaan. Kecenderungan mengabaikan warisan tradisi yang dimiliki dengan melakukan pemujaan terhadap budaya asing telah menghilangkan kearifan lokal yang dimiliki sebagai warisan tradisional akan menghasilkan para generasi gamang yang melangkah tertatih tanpa akar. Alah limau dek binalu, hilang pusako dek pancarian. 


Bak Kayu Lungga Pangabek, Bak Batang Dikabek Ciek
WILAYAH darek atau pegunungan sebagai wilayah asal telah dibunyikan dalam tambo Minangkabau. Dari puncak gunung ini nenek moyang orang Minangkabau mengawali kehidupan dengan melakukan penerukaan membuka lahan baru. Di wilayah asal ini juga diciptakan sistem adat istiadat dan tata aturan agar tercipta masyarakat yang damai dan harmonis. Sebagaimana masyarakat pegunungan, mereka memanfaatkan alam sebagai penopang hidup, dengan memanfaatkan kayukayuan untuk membangun rumah, alat penunjang bagi pertanian, disamping dimanfaatkan juga sebagai kayu api. Dalam hal ini Kayu merupakan kebutuhan utama, sebelum ditemukan teknologi lain sebagai bahan pengganti.

Kayu api dimanfaatkan oleh para ibu rumah tangga untuk kegiatan dapur, dapur tidak akan berasap jika kayu untuk itu tidak tersedia. Tradisi kehutan mencari kayu bakar sudah menjadi suatu keharusan, dilakukan saat usai mengerjakan sawah dan ladang.
bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek, agaknya pepatah ini lahir dari kebiasaan masyarakat yang demikian. Idiom ini menjadi gambaran masyarakat Minangkabau dalam memahami nilai-nilai, disaat masyarakat membentuk kesatuan sosial. Dahan dan ranting diikat erat dalam satu kesatuan yang kuat agar bisa dibawa dengan mudah. Bila ikatanya longgar maka akan sulit dalam proses membawanya, kayu-kayu akan berserak, bersilang tak menentu. Saat dijujung atau dipikul jadi tak terkendali sehingga akan membebani perjalanan. Dengat ikatan yang tidak kuat maka Perjalanan seakan terasa jauh, lurah semakin dalam dan bukit semakin sulit untuk didaki.
Bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek menjadi cerminan dari kecenderungan masyarakat hari ini. Betapa erasa sulit menyatukan pendapat dan keinginan dalam kebersamaan. Kebiasaan berpolemik tanpa tata aturan, melanggar segala etika dan norma yang berlaku sudah bagai air mandi dan bisa disaksikan dimana saja. Dalam menanggapi ragam persoalan solusi yang didapatkan justru suasananya makin diperkeruh agar keadaan makin menjadi tak menentu.
Sebaliknya batang dikabek ciek merupakan sebuah perumpaan sikap dari orang yang mempunyai kecenderunga mengikatkan diri dalam sikap egoism akut, ingin menang sendiri tidak suka mendengar pendapat orang, tidak ingin bersosial dalam masyarakat. Kalaulah hanya untuk sebatang kayu sudah tentu tidak diperlukan lagi ikatan, sebab akan menjadi mubazir, kayu sebatang dengan mudah dapat disandang atau dijujung.
Agaknya era keterbukaan yang telah melanda negeri ini cenderung disikapi secara keliru, telah tercipta sebuah arena kebebasan yang lepas kendali dan tidak terkontrol. Norma dan nilai masyarakat tidak lagi dipedulikan, dilabrak dengan semena-mena. Sikap ingin menang sendiri tidak lagi suka berawak-awak untuk sebuah kebersamaan tak lagi dimilki, apalagi bila sudah menyangkut dengan kepentingan dan kekuasaan.
Terasa betapa sulit bagi kita hari ini menyatukan visi dan pendapat demi kepentingan bersama, Bak kayu lungga pangabek.
Sudah saatnya kita bangkitkan kembali semangat kebersamaan untuk kesejahteraan bersama dalam partisipasi social dengan mengenyampingkan ego dan kepentingan pribadi, dengan membangun lagi semangat kekitaan, baawak-awak.


Bak Kayu Lungga Pangabek, Bak Batang Dikabek Ciek
WILAYAH darek atau pegunungan sebagai wilayah asal telah dibunyikan dalam tambo Minangkabau. Dari puncak gunung ini nenek moyang orang Minangkabau mengawali kehidupan dengan melakukan penerukaan membuka lahan baru. Di wilayah asal ini juga diciptakan sistem adat istiadat dan tata aturan agar tercipta masyarakat yang damai dan harmonis. Sebagaimana masyarakat pegunungan, mereka memanfaatkan alam sebagai penopang hidup, dengan memanfaatkan kayukayuan untuk membangun rumah, alat penunjang bagi pertanian, disamping dimanfaatkan juga sebagai kayu api. Dalam hal ini Kayu merupakan kebutuhan utama, sebelum ditemukan teknologi lain sebagai bahan pengganti.

Kayu api dimanfaatkan oleh para ibu rumah tangga untuk kegiatan dapur, dapur tidak akan berasap jika kayu untuk itu tidak tersedia. Tradisi kehutan mencari kayu bakar sudah menjadi suatu keharusan, dilakukan saat usai mengerjakan sawah dan ladang.
bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek, agaknya pepatah ini lahir dari kebiasaan masyarakat yang demikian. Idiom ini menjadi gambaran masyarakat Minangkabau dalam memahami nilai-nilai, disaat masyarakat membentuk kesatuan sosial. Dahan dan ranting diikat erat dalam satu kesatuan yang kuat agar bisa dibawa dengan mudah. Bila ikatanya longgar maka akan sulit dalam proses membawanya, kayu-kayu akan berserak, bersilang tak menentu. Saat dijujung atau dipikul jadi tak terkendali sehingga akan membebani perjalanan. Dengat ikatan yang tidak kuat maka Perjalanan seakan terasa jauh, lurah semakin dalam dan bukit semakin sulit untuk didaki.
Bak kayu lungga pangabek, bak batang dikabek ciek menjadi cerminan dari kecenderungan masyarakat hari ini. Betapa erasa sulit menyatukan pendapat dan keinginan dalam kebersamaan. Kebiasaan berpolemik tanpa tata aturan, melanggar segala etika dan norma yang berlaku sudah bagai air mandi dan bisa disaksikan dimana saja. Dalam menanggapi ragam persoalan solusi yang didapatkan justru suasananya makin diperkeruh agar keadaan makin menjadi tak menentu.
Sebaliknya batang dikabek ciek merupakan sebuah perumpaan sikap dari orang yang mempunyai kecenderunga mengikatkan diri dalam sikap egoism akut, ingin menang sendiri tidak suka mendengar pendapat orang, tidak ingin bersosial dalam masyarakat. Kalaulah hanya untuk sebatang kayu sudah tentu tidak diperlukan lagi ikatan, sebab akan menjadi mubazir, kayu sebatang dengan mudah dapat disandang atau dijujung.
Agaknya era keterbukaan yang telah melanda negeri ini cenderung disikapi secara keliru, telah tercipta sebuah arena kebebasan yang lepas kendali dan tidak terkontrol. Norma dan nilai masyarakat tidak lagi dipedulikan, dilabrak dengan semena-mena. Sikap ingin menang sendiri tidak lagi suka berawak-awak untuk sebuah kebersamaan tak lagi dimilki, apalagi bila sudah menyangkut dengan kepentingan dan kekuasaan.
Terasa betapa sulit bagi kita hari ini menyatukan visi dan pendapat demi kepentingan bersama, Bak kayu lungga pangabek.
Sudah saatnya kita bangkitkan kembali semangat kebersamaan untuk kesejahteraan bersama dalam partisipasi social dengan mengenyampingkan ego dan kepentingan pribadi, dengan membangun lagi semangat kekitaan, baawak-awak.


Maelo Karajo Jo Usaho, Maelo Parang Jo Barani, Nan Budi Usah Tajua
MENYIKAPI berbagai fenomena perubahan dalam kebudayaan Minangkabau sebenarnya tak lepas dari gejala alam yang semestinya telah di arifi oleh masyarakatnya. Alam merupakan guru dan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Dari alam lah semua gagasan dan pemikiran dilahirkan dalam menghadapi dan menyikapi komplekitas tantangan zaman. Tinggal lagi bagaimana kita menterjemahkan tanda-tanda alam, lalu menyarikan ke dalam konstruksi pemikiran dalam bangun pengetahuan sebagai strategi menyikapi gejala yang menandai perubahan tersebut.

Dalam konteks pertahanan diri dan inisiatif yang mesti dilakukan menghadapi segala tantangan yang pasti datang, peletak konsep tradisi budaya Minangkabau begitu sadar akan kenyataan yang dapat terjadi di masa depan. Menghadapi kenyataan akan perubahan yang harus dilalui, sesuatu yang tidak bisa diduga namun pasti terjadi, memerlukan warisan konseptual sebagai penuntun langkah agar tidak tersesat di perjalanan, dalam membangun harapan untuk kehidupan ke depan yang lebih baik dari sebelumnya. Kesadaran akan berbagai tantangan dan perubahan dalam menjalani kehidupan itu telah disarikan dalam ragam pepatah petitih, pantun dan mamangan adat. Maelo karajo jo usao, maelo parang jo barani, nan budi usah tajua merupakan satu mamangan adat yang berkaitan dengan bagaimana strategi untuk menghadapi tantangan zaman.
Maelo karajo jo usao, menjelaskan tentang pentingnya inisiatif. Adanya subjek yang berani memulai berbuat, agar yang lain dapat mengikuti. Sebuah konsekwensi logis dalam hidup bahwa sebuah usaha keras dalam mencapai sesuatu yang diinginkan menjadi mutlak adanya. Maelo parang jo barani sebuah perumpamaan yang lebih dimaknai pada aspek psikologis, betapa pentingnya memacu semangat dan harapan, berani menghadapi tantangan, resiko hidup atau mati, kalah maupun menang, sebagai sebuah konsekwensi yang mesti diterima dalam ‘peperangan’, peperangan dalam berbagai wujud.
Maelo karajo jo usao, maelo parang jo barani merupakan strategi mewujudkan cita-cita yang ingin diraih dalam kehidupan. Usaha dan keberanian menjadi titik berangkat dalam mencapai hasilnya. Suka bekerja keras dan mempunyai keberanian dalam menghadapi rintangan adalah pesan yang disampaikan dalam idiom ini.
Namun demikian, usaha dan keberanian saja dalam hal tidaklah cukup, keduanya harus dibarengi dengan kejujuran. Adat Minangkabau tidak hanya memandang hasil yang dapat diraih, tetapi juga memperhitungkan bagaimana cara meraihnya, proses apa yang sudah dijalani untuk mencapai sesuatu yang diinginkan menjadi nilai yang penting. Ia harus lah senantiasa ada dalam cara-cara yang tak meyalahi koridor adat, semuanya mesti dipertimbangkan jangan sampai mengorbankan harga diri, bercacat-cela dalam pandangan masyarakat. Oleh karenanya mamangan adat mengingatkan, Maelo karajo jo usaho, maelo parang jo barani,nan budi usah tajua.
Adat Minangkabau sedari awal telah menyiapkan perangkat pengetahuan agar masyarakat senantiasa siap menghadapi berbagai tantangan. Pembiasaan pola hidup yang demikian memunculkan kemandirian dan inisiatif yang tinggi bagi individu, untuk menjadi motor penggerak kemajuan bagi zamannya, tanpa harus tenggelam terbawa arus peradaban baru, karena adanya kemampuan menjaga agar budi jan tajua.
Akan tetapi, hari ini masih pentingkah menjaga budi bagi masyarakat kita? Kita cenderung pragmatis, ingin dapat banyak dengan usaha yang seminimnya. Proses sudah tidak kita pentingkan, soal cara jangan ditanya, hasil yang banyak lah yang menjadi tujuan.
Ondeh Mak…
Betapa kasarnya materialism telah membenamkan kepala kita.


Bondong Aie, Bondong Dadak
SEBUAH tradisi menarik di masyarakat kita dalam menghadapi berbagai peristiwa adalah dengan kebersamaan yang dibentuk oleh sebuah ikatan rasa. Rasa sepenanggungan dalam meringankan berbagai beban, yang memungkinkan aktivitas sosial berlangsung dalam semangat patisipasi. Malu rasanya bila tak ambil bagian, setiap anggota masyarakat merasa wajib sato sakaki.
Rasa kebersamaan pada budaya Minangkabau masa lalu itu telah tersistemkan dalam berbagai tradisi dalam komunitas masyarakat. Tradisi bajulo-julo, turun bersama menggarap sawah atau ladang, melaksanakan gotong royong yang melibatkan semua unsur masyarakat dalam sebuah kegiatan nagari, membangun sarana pengairan, memperbaiki jalan kampung serta berbagai fasilitas umum lainnya.

Berbagai kearifan lokal dalam kebersamaan di masyarakat tradisional diwujudkan dalam kegiatan formal maupun non formal, dalam bentuk ritual maupun sosial mereka. Tidak ada pamrih, semuanya dilakukan dengan kesadaran tinggi demi sebuah capaian bersama. Masyarakat akan berbondongbondong datang, mempersamakan kerja dalam satu tujuan.
Namun budaya tradisional yang demikian tampaknya semakin memudar dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi hari ini, munculnya sebuah fenomena baru dalam masyarakat kita. Mereka berbondong-bondong juga, tetapi dengan tujuan yang sangat individual. Dalam kejaran ingin menjadi yang terdepan dalam modernitas diri, mereka sangat akomodatif dalam menyerap budaya konsumtif dan konsumeristis dan serba pamrih, yang mengikis rasa kebersamaan.
Masyarakat kita mungkin telah memerangkap diri mereka dalam efouria massa yang akut, tak lagi mengenal diri dan tak paham dengan apa yang sedang mereka kerjakan. Yang ada hanya kepentingan dan materi yang menjebak pada pengorbanan yang sia-sia, sebagaimana diingatkan dalam adagium adat kita, bondong aie bondong dadak, awak tasorong urang tagak.
Bondong aie bondong dadak, terjebak dalam arus deras pusaran peradaban yang tak jelas sumbernya, seumpama tumpukan dedak hanyut, terombang ambing dalam arus, perlahan namun pasti akhirnya tenggelam dihisap derasnya air. Mereka terbawa arus dalam ketakmengertian pada apa yang sedang dihadapi dan yang dilakukan, asal ikut dan terlibat. Bila sudah demikian sama saja dengan menjebakkan diri pada kesia-siaan. Pengibaratan sikap yang bondong aie bondong dadak dalam prilaku berbudaya yang tengah menjangkiti orang-orang Minangkabau saat ini, merupakan sebuah gambaran masyarakat yang hanya menjadi kumpulan massa yang mudah diperalat, laiknya sekumpulan kerbau yang dicocok hidung sehingga mudah dikendalikan, sekumpulan massa yang kehilangan pendirian dan jati diri.
Bervalentine day orang, bervalentine day pula kita, bertahun baru orang kita juga tak mau ketinggalan, entah apa maknanya tak perlu paham, yang penting ikut serta pula. Atau bahkan mungkin dalam tindakan yang lebih dari sekedar perayaan, kita juga hanya terjebak dalam semangat budaya massa yang sama?
Bondong aie bondong dadak bagi masyarakat kita merupakan sebuah peringatan, pemahaman tentang kedirian agar tidak terjebak dalam budaya histeria akut yang berbahaya bagi perjalanan peradaban masyarakat kita.
Kondisi ini seyogyanya menjadi perenungan kita bersama, dalam setiap pergantian musim maupun tahun. Sebuah refleksi tentang kebaruan dan pencerahan agar tak hanya menjadi harapan saat terompet tahun baru dikumandangkan yang hanya menjadi cita-cita klise dalam kebersamaan. Saat massa memenuhi jalan-jalan, gedunggedung opera dan pertunjukan, lalu disorakkan puisi-puisi yang memabukkan tentang pencerahan, ditimpali dengan yelyel massa yang berefouria.



Bacolok co Kain Bugih, Marekan malah kironyo
BA COLOK jo kain bugih marekan molah kironyo. Idiom ini populer lewat lirik lagu yang dilantunkan Tiar Ramon, penyanyi Minang era 8o-an. Lirik itu bersumber dari mamangan adat Minangkabau. Lagu itu bercerita tentang perbedaan status social dalam relasi manusia dalam konteks romantisme, percintaan pemuda miskin yang penuh harap mendapatkan gadis kaya dan bangsawan.
Sudah barang tentu, konteks mamangan tersebut tidak sesederhana seperti lirik lagu Minang di atas. Kain bugih (bugis) merupakan kain sarung yang dikenakan dalam upacara adat di Minangkabau. Lakilaki yang sudah memakai gelar adat, di setiap kegiatan seremonial adat akan menyampirkan kain bugih di bahunya atau menyelempangkannya di badan sebagai simbol dari status kehormatan menurut adat. Warna kain menunjukkan kebijaksanaan pemakainya, warna merah biasanya menjadi pakaian yang lebih muda, coklat dan hitam menunjukkan kedalaman kearifan lakilaki yang sudah berumur yang memakainya. Makin bagus kain yang dipakai menunjukan juga kelas pemakainya.

Marekan hanya kain yang terbuat dari benang kasar. Sekarang lazim dijadikan karung tepung. Pada masa lalu, kain marekan juga dipakai sebagai kain basahan (kain penutup yang dipakai saat mandi) mandi di tapian. Paling tinggi fungsinya jadi sarawa piluruik pakaian dalam favorit para lelaki tua di Minangkabau. Bila kain marekan di colok (diwarnai) layaknya kain bugih, tampilan luarnya bisa saja sama tapi kualitasnya dasarnya tetap beda.
Demikian masyarakat Minangkabau memproduksi makna dalam mengarifi hidup dan karakter manusia dalam bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat, yang dapat pula diaktualkan dalam menyigi tingkah polah manusia dalam kehidupan kita hari ini. Kepalsuan dalam berbagai praktik dan gejala yang terjadi dalam masyarakat merupakan gambaran nyata dari pengertian yang dibangun oleh mamangan tersebut, yakni pencitraan diri.
Colok atau warna (representasi diri) yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya, bukan warna asli. Dengan kata lain citra atau pencitraan yang dibangun memberi kesan lebih dari kondisi yang real. Banyak kalangan seperti, para bangsawan, seniman, politikus, usahawan penguasa dan bahkan ilmuwan, saat ini sudah jamak membangun kesuksesan dengan cara demikian.
Dunia pencitraan menjadi suatu yang dianggap sangat penting. Bagi yang tidak pandai membangun citra diri, maka bersiaplah untuk tenggelam dan tidak dikenal banyak orang. Untuk dapat eksis berbagai cara kemudian dilakukan, dan media informasi menjadi sarana vital.
Dalam dunia artis dan selebritas misalnya, melalui media massa dapat disaksikan bagaimana mereka dengan heboh membangun citra dihadapan publik, tiba-tiba saja segala persoalan yang mereka hadapi seolah sudah menjadi urusan kita pula. Dari soal cerai, selingkuh, kehidupan glamour, hedonis dan hidup dalam serba kepurapuraan.
Lihat juga fenomena yang terjadi pada saat ini. Polah para elit memanfatkan adat dan agama untuk kepentingan pencitraan. Pada masa pemilu kada misalnya ramai-ramai para peminat jabatan mengangkat diri sendiri jadi datuk, penghulu suatu kaum. Apakah mereka berhak atas gelar itu atau apakah mereka mengerti soal adat atau tidak itu tidak menjadi penting. Yang penting citra mereka sudah terbangun bahwa mereka orang beradat dengan embel embel gelar datuk dibelakang nama mereka. Celakanya lagi jangankan berpengetahuan soal adat dengan anak kemenakannya saja mungkin tidak saling mengenal.
Agama juga tidak luput menjadi alat untuk pencitraan demi kepentingan. Betapa fasihnya saat ini kita mengutip ayat-ayat suci Al- Qur’an, mengutip hadisthadist, tapi pada praktiknya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan yang diucapkan.
Pencitraan kemudian diteorikan dan menjadi kajian kalangan ilmuwan dan akademisi dalam studi kebudayaan (cultural studies dan sejenisnya). Berbagai masalah yang terpinggirkan nyaris tidak penting akan menjadi penting apa bila sudah diapungkan melalui kekuatan dari pencitraan. Jauh sesudah Minangkabau memformulasikan pencitraan dalam mamangannya. Dan kini saking canggihnya dunia pencitraan, sulit bagi kita mengenali mana bugih, mana marekan.

Makanan Anggang Ndak Kadapek Dek Pipik…
“MAKANAN anggang ndak kadapek dek pipik, makanan pipik ndak kadapek dek anggang” adalah salah satu pepatah usang yang sangat fasih diucapkan oleh masyarakat Minangkabau. Pepatah ini acap muncul saat masyarakat bercengkrama di lapau-lapau, di surau dan balai adat setelah melepas lelah sehabis bekerja. Itu dulu. Sekarang sudah agak jarang.
Pipik atau pipit adalah sejenis burung kecil yang gemar makan padi. Padi saat masa bersantan. Maka, burung pipik ini, menjadi musuh petani. Biasanya pipik datang bergerombol yang jumlahnya bisa mencapai ratusan, menyerbu buah padi menjelang berisi.

Sementara anggang (enggang, hornbill) juga merupakan sejenis burung yang punya paruh besar yang suka makan buah kayu yang berasal dari hutan serta memangsa ular, kelelawar dan jenis serangga lainnya. Pada saat ini habitatnya sangat sulit ditemukan. Burung ini sudahy langka dilindungi.
Pepatah “alam takambang jadi guru” terasa klise jika tidak dipahami dan dilaksanakan dalam memaknai kehidupan ini. Lalu apa kaitannya soal makanan pipik dengan anggang? Rantai makanan burung pipik dan anggang nyaris tidak dapat dipertemukan karena jenis makanannya sangat berbeda. Burung pipik makanannya adalah padi dengan bulir yang kecil-kecil, sedangkan burung anggang makanannya buah hutan yang keras serta kelelawar yang tubuhnya bisa lebih besar dari pada burung pipik.
Makna pepatah di atas boleh saja ditafsirkan secara bebas sebagai suatu perbedaan antara sifat dan karakter masyarakat atau seseorang di dalam menjalani berbagai pekerjaan dan profesinya. Pepatah di atas tentu tak mungkin ditafsirkan dengan membanding besar-kecilnya fisik kedua burung tersebut. Pipik haruslah berperan sebagai pipik yang selalu kecil dan anggang berperan sajalah sebagai anggang yang besar. Keduanya tak boleh saling intervensi atau saling bertukar makanan. Jika ini terjadi akan memunculkan persoalan dan masalah. Makanya, kedua jenis burung ini tak bisa bertukar makanan.
Burung pipik bisa tabulaliak biji matanya karena tak sanggup menelan makanan anggang, demikian juga sebaliknya anggang tidak akan pernah merasa cukup dengan makanan pipik yang kecil.
Demikianlah alam mengajarkan manusia mengenai kearifan dan sadar akan tugas dan posisi masing-masing. Pepatah ini mengajarkan manusia tentang sebuah posisi yang tepat dan ideal untuk tidak saling mengintervensi dengan menyadari sesungguhnya kita ini makhluk Tuhan dengan pembagian yang sudah jelas dalam menjalani hidup.
Pepatah itu memberi ruang keteladanan bagi manusia untuk menyadari dan menyikapi dengan arif berbagai posisi yang sudah digariskan. Tidak mengedepankan sikap-sikap ambisius, merasa mampu mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya bukan bidangnya.
Pepatah itu juga memberi keteladanan dan ajaran penting pada masyarakat dalam menjalankan profesi secara profesional di berbagai bidang. Dalam hal ini bukan berarti orang kecil akan tetap kecil dan orang besar selalu menjadi besar dan lantas jadi sombong, tidaklah demikian adanya. Dalam pepatah ini diajarkan bagaimana manusia memahami posisi dan menyadari kemampuan diri secara personal.
Masalah ini menjadi penting di tengah-tengah masalah yang dihadapi oleh negeri ini yang semakin lama semakin rumit. Kita selalu tidak puas dengan banyak masalah dan kebijakan yang muncul baik dari pemerintah maupun kebijakan dalam suatu lingkungan kecil seperti nagari, jorong, RT, RW dan sebagainya.
Contoh sederhana kita dapat bercermin pada lembaga-lembaga pemerintah dari lembaga tertinggi sampai yang terendah. Pada saat ini sistem penempatan orang dalam jabatan strategis tertentu tidak lagi mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitasnya. Tidak lagi mempertimbangkan apakah orang itu cocok dengan jabatan yang akan ditempatinya.
Pada praktiknya saat ini, tergantung koneksi dan kedekatan dengan para penguasa. Tidak penting apakah mereka pipik atau anggang.
Semuanya sudah berasa jadi anggang sehingga pada saat dipercaya terhadap suatu jabatan tertentu, maka roda kebijakan yang diinginkan masyarakat banyak tidak jalan sebagai mana yang diharapkan.


Nan Sabinjek
KALIMAT nan sabinjek sering kita dengar di dalam kosa kata masyarakat Minangkabau. Nan sabinjek paling sering didengar saat anak nagari belajar silat di sasaran-sasaran tradisional.
Pada saat akan memutus kaji atau silat, sang guru selalu berpetuah pada muridnya.
Petuahnya kira-kira begini:
“Pada suatu saat kalau kamu akan mengajarkan silat kepada orang lain nan sabinjek jan diagiahkan.”
Makna nan sabinjek tersebut dipahami dengan menyimpan beberapa jurus pamungkas yang tidak boleh diturunkan pada murid. Alasan menyimpan itu untuk antisipasi jika suatu kelak murid melawan guru bersilat dan “satu jurus” atau sabinjek masih dipegang guru.

Jika demikian artinya, tidak semua ilmu yang dimiliki sang guru diturunkan pada si murid. Ilmu nan sabinjek tersebut disimpan oleh sang guru sampai batas waktu tak terbatas. Konsekuensi sabinjek yang tak diturunkan guru itu berakibat putusnya satu ilmu. Dan lamakelamaan makin habis karena guru membawa mati ilmu tersebut. Rentetan dan hokum alamnya, setiap guru melakukan hal yang sama. Dan seseorang yang sebelumnya murid, kelak menjadi guru silat, juga melakukan hal yang sama kepada muridnya. Nan sabinjek tetap tak diturunkan. Akhirnya sabinjek demi sabinjek ilmu atau kepandaian yang disimpan menjadi tidak utuh tersampaikan dan habis atau punah. Maka kini yang ilmu silat yang diterima hanya tinggal bagian kulitkulitnya saja. Dan ini sudah berlangsung ratusan tahun.
Jika falsafah nan sabinjek memang menjadi pakaian bagi orang Minang dalam proses belajar dan mengajar, tentu saja hal ini menjadi kontra produktif untuk sebuah pengembangan ilmu di ranah ini, lama kelamaan semua ajaran yang ada tidak akan berkembang sebagai mana mestinya baik ajaran adat, agama, silat dan pengetahuan lain semakin jadi dangkal.
Kenyataan hari ini, tidak banyak lagi kita temukan anakanak kita yang menaruh hormat pada orangtua, sanak saudara, mamak, guru dan lingkungan. Di sekolah-sekolah para murid tidak lagi mengenal gurunya kecuali yang masuk ke kelasnya saja. Di rumah, anak-anak tidak lagi mengenal mamak, datuk dan inyiaknya. Para inyiak, mamak, datuk dan para orangtua juga tidak lagi mengenalkan hubungan relasi antar sanak familinya pada anak-anak mereka. Mereka juga telah kehilangan kearifan. Karena nan sabinjek tetap menjadi rahasia yang tidak lagi diketahui oleh para pewarisnya.
Menurut pendapat penulis, nan sabinjek mengandung pengertian yang hakiki dalam kedirian manusia yakni harga diri. Karena harga diri tidak boleh dijual maupun terjual. Harga diri atau nan sabinjek adalah ilmu pamungkas yang harus dipertahankan. Jika demikian adanya, tentu sudah benar kearifan yang diwariskan oleh budaya Minangkabau yang menyatakan nan sabinjek nambek diagiahkan.
Padahal ungkapan nan sabinjek dalam falsafah adat Minangkabau merupakan sesuatu yang dekat dengan kedirian, sesuatu yang sifatnya sangat personal, yakni harga diri. Puncak pencarian dari segala pengetahuan gunanya untuk membentuk harga diri, sehingga tercipta karakter manusia yang kuat.
Jika kita, bangsa ini sudah kehilangan harga diri, tidak penting apakah dia seorang guru, pejabat, walikota, anggota dewan, gubernur sampai presiden, maka berarti mereka sudah kehilangan nan sabinjek.

Nan sabinjek bagi orang Minangkabau adalah nan kuriak kundi dan merah sago, nan baiak budi nan indah baso. Pertanyaanya, dalam kondisi saat ini, masihkah nan sabinjek itu, ada bertahan dalam diri kita, dalam diri orang Minangkabau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar